Menuju Puncak ( Behind the Scene)


Foto Wiro Naibaho.
yang mengambil adalah lobbu, jadi tidak kelihatan
Gambar diatas, difoto tahun 2010 di puncak Gunung Sinabung, kira-kira 1 bulan sebelum pertama sekali sinabung erupsi. Gambar tersebut difoto bukan untuk keperluan tertentu, hanya ekspresi kebahagiaan Tunas XVI MUM Unimed.  Kala itu adalah memperingati hari jadi Tunas XVI. Tapi salah satu  personel dari foto tersebut, membuat cerita imajinatif tentang perjalanan mereka menuju puncak tersebut. Yeah..Behind the Scene menuju Puncak Sinabung.
Ile terlihat seperti cemas campur bingung  sambil melihat-lihat hp N-73 nya. Yeah.. ternyata dia lagi menunggu sms dari Mancit, tentang jam keberangkatan mereka dari Medan ke Kabanjahe. Tidak lama kemudian, bunyi sms  N-73 terdengar, “ le..km dimn, kami sudah MenuGgu mu di gerbang 4 dekat masjid, km jadi ikut kan??. Dengan rasa  sedikit bingung ile langsung bergegas mengangkat kerilnya, sambil balas sms Mancit ; ia..aku sudah di angkot, dalam hati ile, kok saya gak tau klo mereka uda pada nunggu….

Angkot 103 rahayu, berhenti. Le.. Coro katanya gk bisa ikut kata Selon sambil memasukkan hp 66 nya ke dalam tasnya. Siapa lagi yang gk ikut, sahut ile.. kita Cuma 8 orang yang bisa ikut yang lain pada sibuk  membuat proposal penelitan jawab Simanuk dengan gaya klasiknya (setiap ngomong sambil bagusin rambut).

Dari arah H. Anif, terlihat berjalan 4 orang mahasiswa biasa dengan keril masing-masing. Kucrut, dengan syal selalu terikat dikepala. Protap, dengan topi yang selalu merek Eiger. Lobbu, dengan keril terkecil karena harus beradaptasi dengan berat badannya. Sanca, walau mau ke hutan, lipstick tetap dibibir.

Hayo langsung berangkat ajj…uda jam berapa ini, kata Selon dengan gaya sok on time nya.  Ya udah, emang ada lagi yang mau di tunggu, sahut Ile dengan gayanya selalu sok pengertian. Boom..boom…
Anak- anak medan, anak-anak medan do au kawan, modal pergaulan boi do mangolu au, lirik lagu diangkot 104 rahayu sambil dinyanyikan Lobbu dengan nada nada yang kurang tepat.
Tin-tin, tin-tin…begitu banyak suara klekson, begitulah ciri khas jalan raya di kota Medan.
Woi…woi..sahut seorang pengendara Astrea grand kepada Pengendara Vixion… Lampu merah terkadang harus menggunakan Portal, supaya tidak diterobos
Terminal SUTRA, sudah dekat, Ile mengumpulkan ongkos, 2500 per orang. 
Hayo hayo berangkat…kuja kam nak..kabanjahe, berastagi, mari mari… itu lah kata-kata yang paling favorite di terminal ini.
Bus Sutra berangkat melintasi jalan menanjak dan berkelok. 
ula Gutul tongat..ula gutul tongat...” lirik lagu Rap berbahasa karo, sambil dinyanyikan mancit dengan gayanya yang sok Kece. Manuk dengan kebiasaan ributnya, ikut ikutan ngeRap, dia gak nyadar kalau lirik lagu yang dia ucapkan salah...” ula Butul Botak “..
Ban Sutra menyentuh bumi Sembahe, udara pun mulai  menurunkan angka pada Thermometer. Ile tertidur, karena anak yang satu ini selalu peduli dengan kesehatannya. Diantara semua laki-laki satu tunas ataupun satu sekret dia sendiri yang tidak merokok dan tidak suka begadang....( cie mentang2 dia yang nulis dia ajj yang bagus...).
Lobbu masih diam-diam dengan Chitatos nya.
Kabanjahe, 2 jam sudah perjalanan yang memacu adrenalin oleh supir khas Medan.
Kuja kena nak,, tanya seorang pemuda paruh baya. Mancit menghampiri si pemuda itu. Yang lain kurang mengerti apa yang  mereka bicarakan dengan bahasa Karo. Mancit terlihat tersenyum sambil berkata : kita berangkat, ongkosnya 7 ribu per orang ya.! Yang lain nurut ajj.. sudah merasa itu harga terbaik. Boom.... boom..
Sepanjang perjalanan Kabanjahe – Lereng Sinabung. Sang supir berbicara banyak dengna mancit, yang lain engge engge ajj. Gak ada yang tau bahasa Karo, kecuali mancit. Yang bisa terdengar hanya ucapan mancit. Kami Medan Nari.....ulang tahun , kira-kira kata-kata itu lah yang terdengar dari ucapan Mancit.
45  menit sudah, menempuh perjaalan, tunas XVI berpijak di lereng Gunung Sinabung. Hawa semakin dingin, Sanca terlihat pucat, ternyata bukan...hanya saja lipstiknya sudah hilang tertelan dinginnya angin malam lereng sinabung.
Di jarak  kurang lebih 10 meter terlihat gara api bergerak, ternyata Protap dengan jiwa kerja kerasnya langsung menurunkan kerilnya dan mencari tempat untuk mendirikan Camp. Kucrut langsung menghampirinya, “ Tap... disini ajj Camp nya, disitu dekat air...banyak pacat nanti...”   Protap menjawab : Kau kayak LGBT ajj..takut am Pacat... udah bawa ajj kesini tenda nya...”   . Kucrut dengan muka sangar tapi hati Keibuan..langsung membawa tenda ke arah Protap.
Ile, dengan lampu api batang kayu,, sudah sibuk mencari kayu bakar di sebelah selatan. Selon dan Mancit terlihat berjalan kearah Lau Kawar, membawa nasting dan Botol Aqua besar. Lobbu dengan badan terbesar sepertinya tidak terlihat sejak pertama kali sampai, rupanya sedang men-charge HP Nokia layar hitam-putihnya. Lobbu emg takut hp nya mati, takut sama Pacar barunya.
Foto Wiro Naibaho.
Manuk, kakinya yang keras, menekan-nekan batu di sampung warung dekat Lobbu. Terlihat dia membawa dua batu “Marmer Rock” kearah samping Camp yang sudah gagah segagah Protap dan Kucrut.
Nuk, mau bikin apa, sahut ile.. “ lihat ajj nanti...tenang saja lah kau...biar kau lihat dulu, daya kreatifitas saudaramu ini, jawab Manuk dengan gaya Klasiknya..( tidak lupa membagusi gaya rambut).
Lobbu, tiba-tiba sudah berdiri didekat keril Sanca, kali ini dengan Beng-beng. Sok kreatif kau manuk, Cuma mau bikin Tungku ajj, kreatif..’ gini nih yang kreatif, ditelpon pacar, langsung bilang “lagi di Toilet” , Lobbu dan Manuk  emang jarang akur Semenjak Lobbu punya pacar baru.
Tepat jam 12, tiga nesting : Opor ayam khas Tanjung Bale ala Lobbu, Mie Sedap Goreng khas Tebing ala Selon dan nasi Putih khas Samosir ala Ile.
Kue Tar,,,ulang tahun pun di angkat Sanca dan Kucrut dari arah Timur. Lengkap sudah , bahagia malam itu.
................................( ngorok..)
Berkas sinar, sang raja siang menyerudut dari belahan daun pohon yang bergoyang.  Betis Mancit dan Kucrut terlihat keluar dari tenda membanting bersamaan . Terik mulai menyengat. Pukul 10.00 am.
Satu per satu bangun, dan langsung mencari sesuatu. Awalnya tidak saling bertanya, ehh ternyata mencari benda yang sama.  “ sisa Kue Tar tadi malam” ,  ternyata semua terbangun karena alasan yang sama ‘LAPAR’
Tadi malam aku letak disini Kue nya.. Masih banyak banget lho..kok gk ada lagi..sahut Mancit, ia aku juga lihat itu, gak mungkin diambil Tenda sebelah.. kata Sanca.
Di arah barat, Dermaga Lau kawar, terlihat Lobbu duduk santi sambil mengoyang-goyangkan kaki, tidak lupa juga tangan kiri memegang Hp di telinga. Selon menghampiri Lobbu, ternyata Kotak kue Tar, sudah bermassa 0 gram. “ aku pikir kalian gak mau makan lagi.....heheh”.
Pada bingung mau makan apa, akhirnya satu persatu memesan  mie goreng yang punya semboyan “.. titik titik....SELERAKU” dari warung sebelah selatan.
Waktupun melesat bagai anak panah...sungguh tidak terhiraukan, Raja siang mulai tersenyum merekah di ufuk barat, layaknya senyum selamat petang. Yeah...ternyata Petang sudah menjemput dia ke peraduannya.
Hembusan si “Invisible thing”  menambrak permukaan kulit, beriringan dengan sayutan gelapan malam. Dan thermometer pun kembalin menurunkan angka raksanya.
Woi..uda masak, Ikan teri sama sayur Jipang nya.. apalagi yang mau di masak...biar Makan kita,, uda lapar ni.....sahut Kucrut, sambil mengangkat nesting dengan pegangan kayu..., Makan itu ajj malam ini, besok ajj Sarden nya di masak, jawab Selon. Hayo makan ajj...sahut lobbu sambil menghampiri kucrut.
Protap langsung mengambil nasi dan langsung makan, kalian mau makan ajj pun susah.....hahaha....protap sambil tertawa, Protap juga yang betul... hayo makan-makan, Sanca dengan action tidak seperti biasanya.
Tung tang..tung tang.... jap..jap...sap..sap....ourhhkkk, kenyang sudah kedelapan Mahasiswa biasa ini, tanpa peduli DPNA di kampus mendominasi C.
Riakan si janggut merah melahap batangan kayu kering.. seakan menjadi alunan musik mengiri lingkaran diskusi untuk persiapan menuju Puncak Sinabung. 
Foto Wiro Naibaho.
Sanca membacakan kesimpulan ; tidak usah bikin tenda, jam 12 pas kita berangkat, persiapan makan di jalan dan di puncak tanggung jawab Selon, dan yang lainnya siapkan diri masing-masing berserta perlengkapannya. Breafing selesai......
Kirr...kirr...suara jangkrik meriuh seakan menggetarkan rambatan dinginnya hembusan angin dan gelombang panas api unggun yang membuat kehangatan di malam itu.
Jam 12.00, ke-8 saudara ini, mulai melangkah menuju puncak, dengan diawali berdoa.  
Berpandukan obor, langkah pun terasa ringan oleh bahu-membahu, ulur-mengulur, hingga berhitung sesering mungkin. Sungguh tak tersadarkan bahwa pohon sungguh hidup, menanggakan akar dan batangnya untuk berpijak dan mengulurkan akarnya untuk berpegang di tengah medan yang menanjak dan licin berbatu.  Hingga mahasiswa-mahasiswa sebuah Universitas Negri ini, bisa menapakkan kaki dan memanjakan matanya dengan pandagan yang sungguh luar biasa dari pilar puncak sinabung. Berteriak  sekuat mungkin, berfoto sebanyak mungkin dengan gaya sebanyak mungkin juga, hingga terkagum-kagum betapa sungguh indah ciptaan-Nya.
Foto Wiro Naibaho.
Terduduk serius bocah imut “ Kucrut” dengan sebuah pena dan buku hariannya didekat pilar.  Tatapan menyiku tajam merandom, menggambarkan keseriusan Kucrut akan isi tulisan itu.  Ile penasaran, hingga menghampiri. Wehh..wehh..serius amat crut...nulis apa an sih? ,,,
Satu paragraf dari tulisan  yang berjudul Philosofi Puncak itu ;
Puncak  memang memuncak, mengerucut, meninggi dan curam. Puncak melukiskan hidup. Puncak memberikan ilmu. Puncak  membatasi ruang. Puncak membatasi apapun. Sehingga semakin ke puncak semakin sedikit yang tersisa untuk ruang yang terbatas. Manusia yang ingin ke puncak banyak. Tapi, manusia yang sampai ke puncak tidak akan banyak. Puncak menjulang tinggi oleh sokongan lereng yang kuat. Manusia sampai ke puncak, oleh dukungan dan sokongan. Manusia di puncak tidak akan lupa mereka yang tidak sampai.................................pesan moral cie..cie..kuucrut..
WN, Thanks Sinabung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar