8.12.2013

Contoh Proposal penelitian Pendidikan

BAB I
LATAR BELAKANG

Undang-Undang Sisdiknas mengemukakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Tim Pengajar, 2009).
Pendidikan sangat penting dalam penentu kemajuan suatu negara dan kesejahteraan rakyat. Tidak ada suatu negara maju memiliki mutu pendidikan yang rendah. Seperti halnya Jepang dan Amerika Serikat adalah negara yang mempusatkan sistem politiknya dalam bidang pendidikan yaitu dengan cara menekankan pendidikan sebagai prioritas utama dalam pembangunan negaranya.
Perbaikan mutu pendidikan di Indonesia dapat dilakukan dengan perbaikan sistem belajar dan pembelajaranya. Dalam buku psikologi pendidikan menjelaskan bahwa inti kegiatan pendidikan adalah proses belajar dan pembelajaran. Belajar dapat berlangsung secara Internal terhadap semua pengalaman belajar dan dapat berlangsung melalui pengalaman yang dirancang guru. (Tim Dosen, 2010).
Mutu pendidikan di Indonesia yang masih rendah menyebabkan negara Indonesia saat ini masih belum bisa menjadi suatu negara yang maju dan sejahtera. Untuk itu perlu adanya perbaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan sistem pendidikan di negara ini. Dari keseluruhan perangkat tenaga penggerak sektor pendidikan, Guru merupakan tenaga pelaksana yang sangat menentukan.
   Hal ini didukung oleh Abdul Hamid K. (2007) yang menyatakan bahwa di antara faktor-faktor lain, guru sebagai penggerak proses belajar mengajar memainkan peranan yang sangat besar. Tingkat keterlibatan siswa serta interaksi yang terjadi dalam proses belajar mengajar sangat tergantung pada guru, apakah ia mampu mengembangkan suatu sistem instruksional atau tidak. Guru yang baik akan selalu menerapkan berbagai alternatif pendekatan dalam pengelolaan proses belajar mengajar untuk menghasilkan suatu proses belajar mengajar yang inovatif dan lebih efisien.
Guru merupakan faktor terpenting dalam pendidikan. Gurulah yang menjadi pemegang kendali berhasil atau tidaknya suatu proses belajar-mengajar. Untuk itulah, sebagai pengajar guru hendaknya dapat menerapkan model atau metode pengajaran yang bervariatif dan sesuai bagi siswanya.
Mukhtar (2005) menjelaskan bahwa “ memilih metode dan model yang baik dan dikuasai dengan matang oleh seorang guru  dalam peristiwa pembelajaran, akan menentukan berhasilnya sebuah pembelajaran. Selain itu tentu saja seorang guru harus mengenali karakteristik siswa, menguasai materi, menggunakan sarana penunjang pembelajaran, dan memiliki keterampilan mengajar”.
Pelajaran kimia merupakan pelajaran yang bersifat abstrak, namun demikian masih sering kita temukan pola pembelajaran yang digunakan tidak efektif seperti penyajian materi dan penyelesaian soal-soal yang berbau rumus dan hafalan, hal ini menyebabkan siswa kurang meminati pelajaran ini dan menganggap kimia adalah pelajaran yang sulit, terkesan menakutkan dan tidak jarang siswa merasa kurang mampu untuk mempelajarinya. Dampak yang timbul adalah banyaknya siswa yang tidak menguasai konsep dasar kimia.
SMA Swasta Teladan P. Siantar merupakan sekolah asal peneliti dan merupakan sekolah yang memiliki kualitas pembelajaran kimia yang masih kurang baik. Hal ini diperoleh peneliti dari wawancara dengan guru mata pelajaran. Pembelajaran kimia merupakan pembelajaran yang pada umumnya bersifat hirarki antara satu materi dengan materi lainya. Kesalahan konsep pada materi tertentu akan mempengaruhi konsep siswa pada materi lainya. Driver dalam penelitianya menyimpulkan bahwa “ seorang anak, walaupun masih sangat muda sudah memiliki konsep-konsep/ ide-ide tentang hal-hal yang di temuinya dalam kehidupanya. Dan ide ini memainkan peranan penting dalam pengalaman belajar”. Apa yang memungkinkan anak mampu belajar dengan baik adalah apa yang sudah ada dalam benak mereka, menemukan jati diri mereka sendiri. (Tarigan, 1999).
Jadi sebelum memulai pembelajaran, guru perlu melakukan treatment untuk mengetahui pengetahuan awal siswa.Konsep yang salah pada siswa tentu akan menyebabkan efek yang negatif pada siswa. Untuk itu guru harus  mampu meluruskan kembali konsep siswa tesebut dengan cara menerapkan strategi perubahan konsep sehingga siswa dapat melihat kekeliruan konsepnya dan beralih pada konsep baru yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Berdasarkan hasil penelitian sejenis seperti Purba (2006) menunjukan bahwa hasil belajar kelas eksperimen yang menggunakan Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan (  = 7,00 ± 0,833 ) lebih tinggi dari kelas kontrol dengan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab (  = 6, 16  ± 1,054 ). Bonarita (2006), pada kelas eksperimen diperoleh rata-rata hasil belajar 7,53 dengan simpangan baku SD = 1,18 dan pada kelas control diperoleh rata-rata nilai hasil belajar 6,95 dengan simpangan baku SD = 1,07. Tetty (2007), pada kelas eksperimen rata-rata hasil belajar 7,78 dengan standar deviasi 0,92 dan pada kelas control rata –rata hasil belajar 7,30 dengan standar deviasi 0,89. Bertitik tolak dari semua itu peneliti merasa tertarik untuk mengadakan suatu penelitian dengan judul “Pengaruh Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Pokok Bahasan Sistem Periodik Unsur Kelas XI IPA SMA Swasta Teladan P.Siantar”.

1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
·         Rendahnya mutu pendidikan saat ini
·         Penggunaan metode atau model yang tidak tepat
·         Adanya kesalahan konsep pada siswa mengenai materi pelajaran.

1.3. Batasan Masalah
            Batasan masalah yaitu:
  • Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XI pada pokok bahasan Sistem Periodik Unsur.
·         Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan M3PK sebagai model pembelajaran di SMA Swasta Teladan P. Siantar.

1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
“ Seberapa besar pengaruh model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) Simson Tarigan terhadap hasil belajar kimia siswa pada pokok bahasan Sistem Periodik Unsur kelas  XI SMA Swasta Teladan Pematang Siantar tahun ajaran 2011/2012”.

1.5. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh M3PK Simson Tarigan terhadap hasil belajar kimia siswa pada pokok bahasan Sisitem Periodik Unsur kelas XI IPA SMA Swasta Teladan P. Siantar tahun ajaran 2011/2012.

1.6. Manfaat Penelitian
            Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
·         Bagi guru dan calon guru, berguna sebagai bahan masukan dalam hal memilih model mengajar menginduksi perubahan konsep sebagai salah satu model mengajar dalam pengajaran kimia
·         Bagi sekolah, bermanfaat untuk mengambil keputusan yang tepat bagi peningkatan kualitas pengajaran serta sebagai perkembangan atau bahan rujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa khusus dalam pengajaran kimia.
·         Bagi siswa, dapat meningkatkan hasil belajar kimia serta dapat diterapkan sebagai motivasi belajar pada pelajaran.

1.7. Defenisi Operasional

Model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) adalah suatu model pembelajaran yang bertujuan untuk menginduksi konsep yang benar dan terstruktur kepada siswa. M3PK ini merupakan model pembelajaran yang bersifat konstruktivis. Siswa dituntun membangun pemahaman sendiri atau dengan kata lain siswa menjadi pusat pembelajaran. Di dalam model ini perubahan konsep ditekankan  pada tiga aspek utama, yaitu intelligibility yang artinya konsep tersebut memiliki arti atau makna dalam diri siswa. Aspek yang kedua adalah plausible yang artinya siswa yakin bahwa konsep yang diterimanya benar. Sedangkan aspek yang ketiga adalah fruitfull yang artinya konsep tersebut memberikan “buah” bagi dirinya.      

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Belajar dan Hasil Belajar
2.1.1. Pengertian Belajar
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti berhasil tidaknya tujuan pencapaian pendidikan banyak tergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek bentuk  dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik. Kekeliruan atau ketidak lengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar dan hal-hal yang berkaiatan dengannya akan mengakibatkan kurang bermutunya hasil pembelajaran yang dicapai.
Belajar dan mengajar mempunyai proses hubungan yang erat dalam suatu pencapaian tujuan pendidikan. Dari proses belajar mengajar ini akan diperoleh hasil belajar dan akan mengakibatkan  perubahan pada siswa. Belajar adalah perubahan perilaku seseorang akibat pengalaman yang didapat melalui pengamatan, pendengaran dan membaca.
Hergenhahn, B.R dan Matthew H. Olson (2008) menyatakan bahwa belajar adalah perubahan perilaku atau potensi perilaku yang relative permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak bisa dinisbahkan ke temporary body states ( keadaan tubuh temporer) seperti keadaan yang disebabkan oleh sakit, keletihan atau obat-obatan. Hasil belajar harus selalu diterjemahkan kedalam perilaku atau tindakan yang dapat diamati. Setelah menjalani proses pembelajaran si pembelajar ( siswa ) akan mampu melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan sebelum mereka belajar.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa “ belajar adalah perubahan tingkah laku”. Perubahan ini dapat berupa pengembangan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang nantinya diharapkan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya.

2.1.2. Pengertian Hasil belajar.
Sejauh mana tujuan belajar tercapai maka perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi tersebut disebut hasil belajar. Hasil belajar yang diperoleh dapat berupa pengetahuan, sikap dan ketrampilan.
Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar yang terprogram dan terkontrol yang disebut kegiatan pembelajaran dan tujuan belajar telah ditetapkan terlebih dahulu oleh guru. Proses belajar mencapai puncaknya pada hasil belajar.
Umumnya hasil belajar dibedakan menjadi :
a.       Hasil belajar tinggi
b.      Hasil belajar sedang
c.       Hasil belajar rendah
Hasil belajar mengajar adalah suatu proses tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila Tujuan Instruksional Khusus (TIK) nya dapat tercapai. Yang menjadi petunjuk bahwa suatu proses belajar-mengajar dianggap berhasil adalah hal-hal sebagai berikut  :
a.       Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok
b.      Perilaku yang digariskan dalam Tujuan Instruksional Khusus (TIK) telah tercapai oleh siswa, baik secara individu maupun kelompok.
Namun demikian indikator yang banyak dipakai sebagai tolak ukur keberhasilan adalah daya serap (Djamarah dan Zaia, 1996)

2.2. Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep
Model mengajar menginduksi perubahan konsep merupakan salahsatu model pembelajaran yang mengadopsi paham atau aliran konstruktivisme. Pemikiran ini memiliki arti bahwa siswa lah yang mengkonstruksi pemikiran siswa tersebut. Jadi pembelajaran ini berpusat pada siswa.



2.2.1. Pemikiran Konstruktivisme
Pemikiran konstruktivisme menurut fosnot adalah pemikiran bahwa pembelajar secara aktif mengkonstruk pengetahuanya dan mengartikanya berdasar pada penggalaman pengetahuan yang telah diperolehnya terlebih dahulu (Widodo,2007).
Inti sari konstruktivisme bersandar pada epistemology yang menekankan pada subyektivitas dan relativisme, yaitu suatu konsep walaupun secara nyata mungkin dibedakan dari pengalaman, atau yang hanya diketahui melalui  penalaman dan menghasilkan realitas unik seseorang.
Konstrutivisme beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi  (bentukan) dari “skema” diri yang dimiliki pembelajar. Oleh karena itu, pengetahuan ataupun pengertian dibentuk oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru-guru mereka. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dasri otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (subyek belajar) karena pengetahuan bukanlah barang yang dapat ditransfer begitu saja dari dari pikiran seseorang kepada orang lain, subyek belajarlah yang mengartikan apa yang telah diajarkan dengan penyesuaian terhadap pengalaman-pengalaman merreka.
Menurut Widodo (2007), ada lima tahapan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu :
1)               Pendahuluan : Tahap penyiapan pembelajar untuk mengikuti kegiatan pembelajaran.
2)               Eksplorasi : Tahap pengidentifikasian dan pengaktifan pengetahuan awal pembelajar.
3)               Restrukturisasi : Tahap restrukturisasi pengetahuan awal pembelajar agar terbentuk konsep yang diharapkan.
4)               Aplikasi : Tahap penerapan konsep yang telah dibangun pada konteks/ kondisi yang berbeda ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
5)               Review dan Evaluasi : Tahap peninjauan kembali apa yang telah terjadi pada diri pembelajar berkaitan dengan suatu konsep/ pembelajaran.
2.2.2 Lingkungan Pembelajaran yang Konstruktivis
Taylor dan Fraser dan Aldrige et al  menyatakan bahwa lingkungan pembelajaran yang konstruktivis mempunyai lima ciri, yaitu :Autonomi (keterlibatan siswa dalam mengontrol belajarnya); pengetahuan awal ( pemanfaatan pengetahuan awal siswa dalam pembelajaran);Negoisasi (peran siswa dalam penentuan tujuan dan consensus lainya); Keberpusatan pada siswa (keterkaitan antara pengalaman belajar dengan kepentingan siswa); dan Ketidakpastian (penilaian kritis siswa terhadap pembelajaran) (Widodo 2007)
Menurut Widodo ada lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu ;
1.      Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa. Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi penegetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya.
2.      Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna. Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakan bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakaukan pembelajaran
3.      Adanya linkungan social yang kondusif. Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesame siswa maupun dengan guru.
4.      Adanya dorongan agar si pembelajar bisa mandiri. Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawan terhadap proses belajarnya.
5.      Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah. Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena iu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang kehidupan ilmuwan. (Widodo, 2007).
Dari pendapat para ahli ini dapat di lihat bahwa konsep awal siswa atau pengetahuan awal siswa harus diperhatikan dalam proses belajar-mengajar dan didukung oleh suasana yang kondusif hal ini bertujuan untuk menghasilkan tujuan belajar yang baik.

2.2.3. Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson  Tarigan
Dalam proses belajar mengajar guru haruslah mengetahui bagaimana konsep pemikiran siswa sebelum kita menjelaskan mengenai materi yang akan dibawakan. Konsep awal siswa mempengaruhi bagaimana tujuan pembelajaran akan tercapai. Konsep disini maksudnya adalah pengetahuan awal yang dimiliki siswa sebelum proses belajar mengajar. Perubahan yang terjadi bukan karena adanya penekanan otoritas eksternal atau karena factor intimidasi dan pemaksaan, namun berjalan dengan wajar.
Model mengajar menginduksi perubahan konsep dikontribusi berdasarkan pemikiran konstruktivisme. Selama ini gagasan pribadi anak diabaikan dalam proses belajar mengajar padahal mereka telah memiliki sesuatu, sedikit atau banyak telah berkembang atau sama sekali masi kuncup.  Dengan demikian tugas para pendidik untuk mengembangkan konsep siswa ini menjadi lebih bersifat ilmiah dan benar.
 Menurut Reimann dan Schult dalam Slavin (2008) bahwa “ konsep awal siswa yang naïf dan tidak ilmiah perlu dimodifikasi, peran pendidik dalam menginduksi konsep baru yang bersifat ilmiah dan benar.Dalam memperkenalkan konsep baru , guru seharusnya menggunakan contoh serupa hingga siswa memahami konsep tersebut dan menggunakan berbagai contoh yang masih memperlihatkan aspek-aspek mendasar konsep tersebut”.







Secara umum, strategi menginduksi untuk melakukan perubahan konsep, dapat di jelaskan melalui bagan berikut ini.

                                                                                    Orientasi

                                                                             Pemerolehan ide-ide

                                                                              Rekontruksi Ide-ide

                                                                           Klarifikasi dan pertukaran
Dibandingkan
Dengan ide                                                   Menyingkapkan situasi konflik
Sebelumnya
                                                                             Konstruksi ide-ide baru

                                                                                    Evaluasi

                                                                                Penerapan ide-ide
             
                                                                        Kajian ulang terhadap ide-ide

            Gambar 2.1. Struktur Pengajaran Melakukan Perubahan Konsep

Langkah-langkah diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
Urutan pertama adalah tahap orientasi. Pada tahap orientasi, dilakukan serangkaian pembicaraan sedemikian rupa sehingga akhirnya mengarah kepada tahap identifikasi konsep siswa. Selanjutnya dari tahap orientasi dilakukan tahap identifikasi konsep siswa. Pada tahap ini di analisis konsepsi siswa, sehingga dapat diidentifikasi apakah konsep yang dimiliki siswa sudah benar atau belum. Pada tahap ini guru berperan sebagai pendengar, sementara siswa memberi penjelasan. Jika penjelasan siswa belum terstruktur, maka sambil mendengarkan guru memberi pertanyaan-pertanyaan tertentu, sehingga siswa mampu menstrukturisasikan idenya. Dengan pernyataan-pernyataan tertentu, guru membawa siswa kedalam situasi yang bertentangan, yang tidak bisa dijelaskan dengan konsep siswa tersebut. Setelah menyadari kelemahan penjelasannya, maka guru mulai dengan konstruksi baru.
Pada tahap evaluasi guru memberikan evaluasi lisan/tertulis untuk mengetahui apakah konsep baru siswa tersebut sudah dikuasai oleh siswa. Selanjutnya siswa dihadapkan dengan situasi yang harus dipecahkannya dengan ide baru yang sudah diperolehnya. Artinya siswa dibawa kepada penerapan praktis. Selanjutnya guru melakukan kajian ulang terhadap ide-ide baru tersebut, yang dibandingkan dengan ide siswa sebelumnya, sehingga siswa bisa melihat kebenaran ide baru terebut sekaligus melihat kelemahan dan kekurangan dari ide yang dimilikinya sebelumnya.
Rekonseptualisasi (restrukturisasi kuat) hanya mungkin terjadi jika seorang guru mengetahui konsep yang dimiliki anak tentang permasalahan tersebu, dan melakukan perubahan konsep berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki anak.
Dengan demikian terlihat ada empat aspek yang ditekan dalam melakukan perubahan konsep, yaitu :
1.      Melalui perubahan konsep seorang anak mampu memecahkan masalah yang dihadapinya.
2.      Dia mengerti dan menerima konsep IPA secara ilmiah.
3.      Memiliki pengertian yang jelas tentang “materi ilmiah”.
4.      Mampu membangun penjelasan ilmiah tentang fenomena yang dihadapinya.
Aspek diatas, merupakan sasaran pengajaran IPA dengan orientasi agar pengajaran IPA bermakna dalam diri anak.
Dalam melakukan perubahan konsep, konstruksi dan rekonstruksi yaitu masuknya informasi baru akan menyebabkan terjadinya konflik (pertentangan) konsep dalam diri siswa, berorientasi dari gagasan equilibrium (kesetimbangan) dan disequilibrium (ketidakseimbangan), dengan konsep pemikiran sebagai berikut : Jika seorang anak diperhadapkan dengan konsep/informasi yang bertentangan dengan konsep yang terdapat dalam struktur kognitifnya, maka akan terbentuuk semacam disekuilibrasi dalam diri siswa, yang mendorong si anak untuk melakukan kontraksi kognitif mengarah kepada tercapainya kesetimbangan kembali. Dengan perkataan lain, konsep yang diperhadapkan pada anak bertentangan dengan konsep yang sudah ada dalam struktur kognitifnya. Sehingga anak diperhadapkan pada dua alternatif yang bertentangan yang salah satunya harus dipilihnya.
Peran guru dalam hal ini ialah “merendahkan” salah satu konsep (yang keliru tentunya), sehingga konsep yang benar yang akan masuk memiliki status yang lebih tinggi dan si anak dapat menerimanya sehingga tercapai suatu kesetimbangan kembali.
Tujuan “merendahkan” konsep yang keliru adalah untuk menciptakan perasaan tidak puas dalam diri anak tentang konsep tersebut. Agar terjadi perubahan konsep sebagaimana yang diharapkan, maka konsep yang akan masuk haruslah dapat berpadu langsung dengan konsep yang sudah ada sebelumnya. Maka si anak merasakan bahwa konsep baru tersebut memiliki arti/makna (intelligible) dan dia yakin akan kebenaran konsep tersebut (plausible) dan juga jika konsep itu berbuah (fruitfull), dalam diri siswa diterapkan dalam situasi praktis. Secara skematis, perubahan konsep dapat digambarkan sebagai berikut:

   Konsep Awal


E1
E3
E4
E5
E2
 




Gambar 2.2. Contoh Model Perubahan Konsep


Gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Anak memiliki konsep C1. Dengan konsep ini mampu menjelaskan berbagai fakta/ fenomena alam, yaitu: E1, E2, E3, dan En. Dengan metode membangkitkan konflik kognitif (generating conflict cognitive), guru memberikan fakta informasi En+1, yang bertentangan dengan fakta sebelumnya sehingga dalam “negotiation of meaning”, katakanlah akhirnya si anak menerima fakta En+1. Penerimaan fakta En+1, melahirkan situasi baru, dimana anak akhirnya kembali menghadapi konflik yang mengharuskan dia mengkaji kembali fakta E1, E2, E3, dan En. Disinilah peranan guru sangat menentukan untuk mengarahkan anak kepada konsep yang benar, sehingga akhirnya tercapai kestimbangan baru yaitu penerimaan konsep baru.

2.2.4. Konsep-Konsep Alternatif
Setiap siswa (anak) walaupun masih sangat kecil, dia sudah memiliki konsep atau prakonsepsi tentang berbagai hal dalam lingkungannya. Dia memiliki suatu pemikiran tersendiri dalam menganalogiskan mengenai suatu hal peristiwa dan menyimpulkannya.
Pemikiran atau konsep yang dimiliki siswa dinamakan konsepsi alternative. Dalam pelajaran SPU bagaimana pandangan atau gagasan siswa terhadap struktur atom konfigurasi elektron dinamakan konsep awal atau konsep alternatif siswa.  Konsep alternative yang paling sesuai dan, paling bermakna dan diyakini anak paling bermanfaat akan dijadikan sebagai prinsipnya, inilah yang disebut dengan “konsep anak”. Dimana ”konsep anak” ini lah yang menjadi patokan utama guru dalam menentukan kegiatan pembelajaran.
Dalam memudahkan proses pembelajaran seorang pendidik harus mampu mengetahui bagaimana “konsep anak” terhadap topik bahasan yang akan dipelajari oleh siswa. Pengidentifikasian ini dapat mempermudah guru menganalisa kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajar, dan sekaligus memudahkan guru untuk melakukan konsep (Tarigan, 1999)


2.2.6. Kondisi Untuk Melakukan Perubahan Konsep
Dalam melakukan perubahan konsep ada tiga kondisi atau syarat yang harus diperhatiakn, yaitu Intelligible, Plausible, Fruithfull (IPF)
1.                  Apakah konsep itu memiliki arti/makna (Intelligible) untuk anak yang mempelajarinya?
Kriteria untuk menentukan apakah suatu konsep intelligible atau tidak, dapat dikemukakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
Apakah siswa tahu apa maksud dari konsep tersebut?
Apakah siswa mampu menyampaikan konsep tersebut secara utuh?
2.         Apakah anak merasa yakin bahwa konsep yang diterimanya itu benar (Plausible)?
Kriteria untuk menentukan apakah suatu konsep masuk akal atau tidak dapat dikemukakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
Jika siswa merasa bahwa konsep tersebut masuk akal, apakah dia percaya bahwa konsep tersebut benar?
Apakah konsep tersebut konsisten dengan konsep lain yang sudah diperoleh siswa?
Apakah konsep tersebut “dapat berdamai”  dengan konsep lain yang sudah diterima siswa?
3.        Apakah konsep itu member buah (Fruithfull) dalam diri siswa ?
Kriteria untuk menentukan apakah suatu konsep bermanfaat atau tidak dapat dikemukakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
Jika siswa merasa bahwa konsep tersebut memiliki arti atau makna dan benar, apakah siswa merasa yakin bahwa konsep tersebut bernilai (berguna) baginya?
Apakah dengan konsep itu dia mampu memecahkan masalah yang selama ini menyulitkannya?
Apakah dengan mempelajari konsep itu dia lebih mampu memahami atau mempelajari gagasan, idea tau konsep lain?
            Ketiga kondisi diatas menjadi bahan perhatian bagi guru, guru harus mampu mengetahui tentang status konsep siswa apakah sudah memenuhi kondisi “ IPF” diatas            Peter, W. Hewson dan Richard Thorley (Tarigan, 1999) mengatakan bahwa ketiga kondisi diatas menentukan status konsep tersebut dalam diri siswa. Status konsep tersebut “naik” atau “turun” dalam diri siswa tergantung dari apakah terpenuhi ketiga kondisi diatas. Suatu konsep yang sangat penting tidak memiliki status yang “ tinggi” dalam diri siswa, hal ini bisa disebabkan karena salahsatu dari ketiga kondisi di atas tidak terpenuhi sehingga konsep tersebut kehilangan “kemasukakalanya” dan “kebermanfaatanya”.

2.3.      Pandangan Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep Pada    Pengajaran IPA
Konsep adalah buah pikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga melahirkan produk pengetahuan meliputi prinsip, hukum dan teori. Setiap orang sudah memiliki konsep-konsep atau ide-ide tentang hal-hal yang ditemuinya.
Menurut Kennet D. Moore, mengajar adalah sebuah tindakan dari seorang yang mencoba untuk membantu orang lain mencapai kemajuan dalam berbagai aspek seoptimal mungkin sesuai dengan potensinya. Madelina Hunter mengemukakan bahawa mengajar adalah sebuah proses membuat dan melaksanakan sebuah keputusan sebelum, selama dan sesudah proses pengajaran, yakni keputusan yang jika diambil seorang guru akan mengakibatkan kemungkinan siswa untuk belajar.
Menurut Rosyada dalam Purba (2006) Konstruktivisme adalah aliran yang mengembangkan pandangan tentang belajar yang menekankan pada empat komponen, antara lain:
1.            Siswa membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar bukan karena disampaikan pada mereka.
2.            Pelajaran baru sangat tergantung pada pelajaran sebelumnya.
3.            Belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi sosial.
4.            Penguasaan-penguasaan dalam belajar dapat meningkatkan kebenaran proses belajar-mengajar.
Model mengajar menginduksi perubahan konsep berlandaskan dari pemikiran konstruktivisme. Dimana bahwa pengetahuan dibangun dalam diri siswa sendiri. Sehingga akan memberikan peluang kepada siswa terlibat aktif meningkatkan sasaran belajar, saling mengisi dalam pemecahan masalah.
Tugas guru yang utama adalah menganalisis pengetahuan awal siswa. Apabila pengetahuan awal yang dimiliki siswa bersifat naif atau tidak ilmiah maka tugas guru adalah melakukan perubahan konsep menuju konsep yang ilmiah.
Skematis Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) dapat digambarkan sebagai berikut:
Benar dan ilmiah
Pengetahuan awal siswa
Keliru
Alternatif frame work
Perubahan Konsep
Dikembangkan
Benar dan ilmiah
 













Gambar 2.3. Skema Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep

Dari skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Pengetahuan awal yang dimiliki anak terdapat kekeliruan ketika guru melakukan identifikasi. Informasi baru dari guru diterima oleh anak dimana berbeda dengan informasi mana yang akan diterima. Informasi-informasi tersebut yang akan dipilih anak disebut konsep alternatif. Ketika anak menerima informasi baru yang disampaikan oleh guru, anak mengalami perubahan konsep, artinya anak telah memiliki konsep yang benar dan akhirnya akan dikembangkan. Sedangkan konsep awal yang dimiliki anak sudah benar dan ilmiah, maka anak tinggal mengembangkan konsep tersebut.
Pada pandangan ini, guru menyadari adanya pengetahuan awal siswa dan mampu melakukan identifikasi secara cermat dan benar. Sehingga guru mengetahui apakah pengetahuan awal siswa benar atau masih terdapat kekeliruan konsep. Dalam PBM IPA diatas, guru mempertimbangkan pengetahuan awal siswa. Setelah PBM berlangsung terlihat bahwa pengetahuan akhir siswa merupakan pengembangan dari pengetahuan awal siswa itu sendiri.

2.4.Keunggulan Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep
Model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) mempunyai keunggulan-keunggulan, antara lain:
1.            Siswa dapat dengan mudah membangun pemahamannya sendiri dari materi yang diajarkan.
2.            Proses belajar mengajar lebih mudah dan menyenangkan.
3.            Dengan menerapkam model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK), tugas guru akan menjadi lebih mudah dan terarah.
4.            Hasil pembelajaran siswa lebih bermakna dan maksimal.
Dalam model pembelajaran model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK), pendekatan guru adalah dengan pola pendekatan 25% - 50% - 25%, artinya:
-                25 % (Siswa dalam kategori A : penguasaan konsep istimewa dengan baik)
-                50% (Siswa dalam kategori B  : penguasaan konsep rata-rata)
-                25% (Siswa dalam kategori C  : penguasaan konsep kurang/lambat)
Seorang guru perlu mencatat nama-nama siswa yang termasuk kategori A (siswa yang memiliki kemampuan berpikir intuitif tinggi) dan siswa yang memiliki kemampuan rendah (kategori C).
Kriteria Pencatatan :
a)      Kemampuan mereka dalam memberikan argumentasi atas pertanyaan guru secara lisan.
b)      Kepiawaian atau kecepatan mereka dalam menjawab tes yang diberikan kepada mereka.
c)      Kriteria lain yang ditentukan oleh guru.
Dalam penentuan siswa kategori A, B, C peneliti melakukan pembagian kelompok berdasarkan hasil belajar kimia siswa pada kelas X dalam kelas tersebut dan dengan berdiskusi terhadap guru yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk pembagian kategori siswa kedalam pembagian 25 % kategori A, 50% kategori B, dan 25 % kategori C.
Selanjutnya siswa yang masuk dalam kategori A akan dipisahkan dengan siswa kategori C, dengan pola 1:1 atau 1:2. Artinya 1 siswa kategori A dipadukan dengan 1 atau 2 siswa kategori C, dimana siswa kategori A harus mengajari siswa kategori C dalam pokok bahasan yang sudah dipelajari (dalam hal yang belum dipahaminya).
Dalam model M3PK diadakan remedial terhadap siswa yang belum menguasai materinya. Berbeda dengan pola pembelajaran yang lain, dalam model pembelajaran M3PK, tetap dilaksanakan pengajaran remedial (remedial teaching) dan pengajaran pengayaan (enrichment teaching), dengan pola yang berbeda. Kalau biasanya pengajaran remedial dilakukan oleh guru, dalam model pembelajarran ini remedial dilakukan siswa kategori A.

2.5. Langkah-Langkah Penerapan M3PK
M3PK Adalah sala satu model pembelajaran yang menginduksi perubahan konsep. Konsep awal siswa yang bersifat naïf, tidak benar, dan belum bersturktur di induksi untuk menghasilkan konsep baru yang bersifat ilmiah, benar dan terstruktur.
Langkah-langkah dalam operasional penerapan model mengajar menginduksi perubahan konsep :
1)            Strategi Awal
Dengan menciptakan konsep awal siswa, waktu yang optimum satu minggu sebelum pokok bahasan tersebut diajarkan. Konsep awal siswa ini dapat diperoleh melalui :
a)      Pengalaman sehari-hari
b)      Pokok bahasan identik yang sudah pernah dipelajarinya
c)      Diciptakan oleh guru.
Guru menciptakan konsep awal siswa dengan cara menyuruh mereka membaca, membuat ringkasan dari buku bacaan dan beberapa buku lainya yang relevan tentang pokok bahasan yang akan dipelajari minggu depan. Apabila siswa belum memiliki buku bacaan maka guru dapat memberikan fotocopyan kepada siswa atau dalam bentuk hand out.
2)            Melakukan Identifikasi
Pada langkah ini guru mencari informasi mengenai konsep-konsep yang telah dimiliki siswa. Identifikasi konsep awal siswa ini dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa sehingga guru dapat mengetahui apakah konsep siswa sudah benar atau salah. Ini dilakukan sebelum PBM berlangsung.
3)            Melakukan Perubahan Konsep
Perubahan konsep ditekankan pada beberapa aspek, yaitu : Strukturisasi Konsep, artinya jika konsep siswa sudah benar tapi masih belum terstruktur/ sempurna. Setelah guru mengetahui bagaimana konsep siswa, maka dilakukan perubahan konsep/menginduksi konsep baru yang benar, ilmiah, dan terstruktur. Konsep baru ini haruslah Intelligibility, artinya konsep itu memiliki arti/ makna dalam diri siswa. Plausible, artinya siswa yakin bahwa konsep yang diterimanya adalah benar. Fruitful artinya konsep itu memberikan ”buah” bagi dirinya bagi dirinya. Dengan kata lain, konsep itu bisa diterapkannya dalam kehidupanya sehari-hari. Repetisi, artinya pengulangan proses belajar mengajar bila diperlukan.
2.6. Materi Bahasan Sistem Periodik Unsur
2. 6.1. Struktur Atom
Teori Atom Niels Bohr dan Mekanika Kuantum
1. Spektrum Atom
Berdasarkan ilmu fisika, kita mengetahui bahwa pelangi terjadi karena berkas sinar matahari diuraikan oleh butir- butir air hujan. Hal serupa juga dapat terjadi jika seberkas sinar matahari dijatuhkan pada sebuah prisma. Pelangi merupakan bukti bahwa sinar matahari merupakan gabungan dari berbagai warna (panjang gelombang) secara sinambung, yaitu merah-jingga-kuning-hijau-biru-ungu. Uraian warna yang sinambung seperti pelangi, kita sebut spektrum kontinu.
Berbeda halnya dengan sinar matahari, radiasi (cahaya) yang dihasilkan oleh unsur gas yang berpijar hanya mengandung beberapa panjang gelombang (warna) secara terputus – putus, sehingga disebut spektrum diskontinu atau spektrum garis.

2. Model Atom Niels Bohr
Telah disebutkan bahwa spektrum atom berupa spektrum garis, pada tahun 1913, Niels Bohr dapat menjelaskan fenomena ini dengan menggunakan teori kuantum Planck. Menurut Bohr, spektrum garis menunjukan bahwa elektron dalam atom hanya dapat beredar pada lintasan – lintasan dengan tingkat energi tertentu. Pada lintasan itu, elektron dapat beredar tanpa pemancaran atau penyerapan energi. Lintasan elektron tersebut berupa lingkaran dengan jari –jari tertentu yang disebut sebagai kulit atom.
Setiap kulit ditandai dengan suatu bilangan yang disebut bilangan kuantum (n), yaitu dimulai dari kulit paling dalam, n= 1,2,3,4, dan seterusnya, dan dinyatakan dengan lambang K, L, M, N, dan seterusnya.
Pada keadaan normal, elektron menempati kulit- kulit dengan tingkat energi terendah. Keadaan dimana elektron mengisi kulit- kulit dengan tingkat energi terendah, disebut tingkat dasar. Apabila mendapat energi dari luar, maka elektron akan menyerap energi yang sesuai lalu pindah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Keadaan dimana elektron ada yang menempati tingkat energi yang lebih tinggi, disebut keadaan eksitasi. Keadaan tereksitasi nerupakan keadaan yang tidak stabil dan hanya berlangsung pada waktu yang singkat.
Oleh karena perpindahan elektron ini berlangsung antara kulit yang sudah tertentu tingkat energinya, maka atom hanya akan memancarkan radiasi dengan tingkat energi yang tertentu pula. Dengan demikian dapat dijelaskan mengapa spetrum unsur berupa spektrum garis.

3. Model Atom Mekanika Kuantum
Kelemahan dari model atom Niels Bohr yaitu tidak dapat menjelaskan mengapa elektron hanya boleh berada pada tingkat energi tertentu. Pertanyaan ini dijelaskan oleh Louis de Broglie dengan dualisme partikel gelombang.
Menurut de Broglie, selain bersifat partikel, elektron dapat bersifat gelombang, sedangkan Niels Nohr berpendapat bahwa elektron adalah partikel. Pendapat de Broglie yang dikembangkan oleh Erwin Schrodinger dan W.Heisenberg melahirkan teori atom Modern. Teori atom ini dikenal dengan nama teori atom mekanika kuantum. Prinsip dasar teori mekanika kuantum adalah gerakan elektron dalam mengelilingi inti bersifat seperti gelombang.
Berdasarkan teori mekanika kuantuum, keberdaan elektron dalam lintasan tidak dapat ditentukan dengan pasti, yang dapat diketahui hanya daerah kebolehjadian ditemukannya elektron.Teori ini dikemukakan oleh Werner Heisenberg, dan dinamakan prinsip ketidakpastian Heisenberg.  
2.6.2. Bilangan Kuantum
a. Bilangan Kuantum Utama (n)
Bilangan kuantum utama menetukan besarnya tingkat energi suatu elektron yang mencirikan ukuran orbital.  Lambang dari bilangan kuantum utama adalah “n”. Bilangan kuantum utama menyatakan kulit tempat ditemukannya elektron yang dinyatakan dalam bilangan bulat positif.

Jenis Kulit
Nilai (n)
K
1
L
2
M
3
N
4

Tabel 2.3. Hubungan jenis kulit dan nilai bilangan kuantum utama.
b. Bilangan Kuantum Azimuth (l)
Bilangan kuantum azimut menyatakan sub kulit tempat elektron berada dan bentuk orbital, serta menentukan besarnya momentum sudut elektron terhadap inti.
Banyaknya subkulit tempat elektron berada tergantung pada nilai bilangan kuantum utama (n). Nilai bilangan kuantum azimut dari 0 sampai dengan (n - 1). Bila n = 1, maka hanya ada satu subkulit yaitu l = 0. Sedangkan n = 2, maka ada dua subkulit yaitu l = 0 dan l = 1.
Untuk setiap sub kulit diberi lambang berdasarkan harga bilangan kuantum
·   Subkulit yang mempunyai harga l = 0 diberi lambang s (sharp)
·   Subkulit yang mempunyai harga l = 1 diberi lambang p (prinsipal)
·   Subkulit yang mempunyai harga l = 2 diberi lambang d (diffuse)
·   Subkulit yang mempunyai harga l = 3 diberi lambang f (fundamental)
Table berikut menunjukan keterkaitan jumlah kulit dengan banyaknya subkulit serta jenis subkulit dalam suatu atom

Kulit
Nilai n
Nilai I
Jenis Subkulit
K
1
0
1s
L
2
0
2s
1
2p
M
3
0
3s
1
3p
2
3d
N
4
0
4s
1
4p
2
4d
3
4f
Tabel 2.4. Hubungan bilangan kuantum utama dan azimut serta subkulit.

c. Bilangan Kuantum Magnetik (m)
Bilangan kuantum magetik menyatakan orbital tempat ditemukannya elektron pada subkulit tertentu dan arah momentum sudut elektron terhadap inti. Sehingga nilai bilangan kuantum magnetik berhubungan dengan bilangan kuantum azimuth.
Kuantum Azimut
Tanda
Orbital
Bilangan Kuantum
Magnetik
Gambaran
Orbital
Jumlah
Orbital
0
s
0
1
1
p
-1, 0, +1
3
2
d
-2, -1, 0, +1, +2
5
3
f
-3, -2, -1, 0, +1, +2, +3
7
Tabel 2.5. Hubungan bilangan kuantum azimut dengan bilangan kuantum magnetic



d. Bilangan Kuantum Spin (S)
Lambang bilangan kuantum spin adalah s yang menyatakan arah rotasi elektron pada porosnya. Ada dua kemungkinan arah rotasi yaitu searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Begitulah elektron yang berotasi, bila searah jarum jam maka memiliki nilai s=+½ dan dalam orbital dituliskan dengan tanda panah ke atas. Sebaliknya untuk elektron yang berotasi berlawanan arah jarum jam maka memiliki nilai s = -½ dan dalam orbital dituliskan dengan tanda panah ke bawah.
Dari uraian arah rotasi maka kiata dapat mengetahui bahwa dalam satu orbital atau kotak maksimum memiliki 2 elektron.
Kulit
N
L
M
Sub kulit
Gambaran Orbital
Jumlah Orbital
Jumlah Orbital Maksimum
Subkulit
Kulit
K
1
0
0
1s
1
2
2
L
2
0
0
2s
1
2
8
1
-1, 0, +1
2p
3
6
M
3
0
0
3s
1
2
18
1
-1, 0, +1
3p
3
6
2
-2, -1, 0, +1, +2
3d
5
10
N
4
0
0
4s
1
2
32
1
-1, 0, +1
4p
3
6
2
-2, -1, 0, +1, +2
4d
5
10
3
-3, -2, -1, 0, +1, +2, +3
4f
7
14
Tabel 2.6. Hubungan ke empat bilangan kuantum.

e. Bentuk Orbital
Setiap orbital mempunyai ukuran, bentuk dan arah orientasi ruang yang ditentukan oleh bilangan kuantum n, l,dan m. orbital – orbital tersebut bergabung membentuk suatu subkulit dan subkulit bergabung membentuk kulit atau tingkat energi.
Subkulit s tersusun dari sebuah orbital dengan bilangan kuantum l = 0 dan mempunyai ukuran yang berbeda tergantung harga bilangan kuantum n  (bagian dari kulit yang mana). Probabilitasuntuk menentukan electron pada orbital s adalah sama untuk ke segala arah, maka bentuk ruang orbital s digambarkan seperti bola.


                                                                                   
Gambar 2.2  Bentuk Orbital s

Subkulit p tersusun dari tiga orbital dengan bilangan kuantum l = 1. tiga orbital p tersebut adalah px, py, pz, bentuk ruanga orbital p digambarkan seperti dumbbell dengan probabilitas untuk menemukan electron semakin kecil mendekati inti





Gambar 2.3. Bentuk orbital – orbital PX, PY, PZ

Subkulit d tersusun dari lima orbital yang mempunyai bilangan kuantum l = 2. Arah orientasi dari orbital d dapat dibedakan menjadi kelompok, yaitu :
a. mempunyai orientasi di antara sumbu, terdiri dari 3 orbital, yaitu : dxy, dxz, dan dyz
b mempunyai orientasi pada sumbu, terdiri dari 2 orbital, yaitu : dx2-y2, dz2










Gambar 2.4. Bebagai bentuk orbital d
2.6.3.  Konfigurasi Elektron
Konfigurasi electron menggambarkan penataan elektron – elektron dalam suatu atom, konfigurasi electron adalah khas untuk suatu atom. Meskipun demikian, terdapat suatu aturan yang bersifaat umum dalam memperkirakan penataan electron dalam suatu atom.
a.       Aturan Aufbau
Azas Aufbau (berasal dari bahasa Jerman yang berarti membangun). Menurut prinsip Aufbau suatu atom akan berada dalam kondisi yang stabil bila mempunyai energi yang rendah, sedangkan elektron – elektron akan berada pada orbital – orbital yang bergabung membentuk subkulit. Jadi, elektron mempunyai kecenderungan akan menempati subkulit yang tingkat energinya terendah.
 









Gambar 2.5. Diagram Curah Hujan
Berdasarkan gambar diatas, maka urutan tingkat energi dari yang paling rendah ke yang paling tinggi. 1s<2s<2p<3s<3p<4s<3d<4p<46….dan seterusnya.
b.      Larangan Pauli
Larangan Pauli atau eksklusi Pauli menyatakan bahwa didalam suatu atom tidak boleh terdapat dua elektron dengan empat bilangan kuantum yang sama. Orbital yang sama akan mempunyai bilangan kuantum n,l,m. yang sama. Dengan demikian, yang dapat membedakannya hanya bilangan kuantum spin (s). Jadi,  setiap orbital hanya dapat berisi 2 elektron dengan spin (arah putar) yang berlawanan.
Dengan adanya larangan Pauli ini, maka electron yang dapat menempati suatu subkulit terbatas hanya dua kali dari jumlah orbitalnya. Jumlah maksimum electron adalah sebagai berikut :
·   Subkulit s terdiri dari 1 orbital dapat ditempati maksimum 2 elektron.
·   Subkulit p terdiri dari 3 orbital dapat ditempati maksimum 6 elektron.
·   Subkulit d terdiri dari 5 orbital dapat ditempati maksimum 10 elektron.
c.       Aturan Hund
Friendrich Hund (1927) seorang ahli fisika dari Jerman mengemukakan aturan pengisian elektron pada orbital, yakni : “orbital – orbital dengan energi yang sama masing-masing diisi lebih dulu oleh satu elektron arah (spin) yang sama atau setelah semua orbital masing-masing terisi satu elektron kemudian elektron akan memasuki orbital-orbital secara urut dengan arah spin yang berlawanan ”.
Contoh :
P2 dituliskan    
Bukan      
P4 dituliskan    
Bukan       

Bukan pula
P5 dituliskan   
Bukan        
P6 dituliskan   
Bukan        

Bukan pula
Tabel 2.7.  Kaidah Aturan Hund
2.6.4. Sistem Periodik Dan Konfigurasi Elektron
Sistem periodik unsure disusun berdasarkan pengamatan sifat kimia dan sifat fisis unsur – unsur. Unsur yang mempunyai kemiripan sifat kimia  dan sifat fisis diletakkan dalam satu golongan.
Ada keterkaitan antara konfigurasi elektron dengan letak unsur dalam sistem periodik. Untuk mengetahui hubungan tersebut dapat dijelaskan berikut ini.
a)      Menentukan Letak Golongan
Letak golongan suatu unsur dalam sistem periodic unsur dapat diramalkan subkulit terakhir yang terisi electron
·   Jika konfigurasi electron berakhir pada sn maka unsur tersebut pada golongan nA.
·   Jika konfigurasi electron berakhir pada pn maka unsur tersebut terdapat pada golongan (n + 2)A.
·   Jika konfigurasi electron berakhir pada dn maka unsur tersebut terdapat pada golongan (n + 2)B dengan catatan bahwa untuk (n +2) berjumlah 8,9, dan 10, unsur tersebut berada dalam golongan VIIIB, sedangkan untuk (n +2) = 11 dan 12 unsur terletak pada golongan IB dan IIB
·   Jika konfigurasi electron berakhir pada fn maka unsure tersebut terdapat pada lantanida dan aktinida.
b)      Menentukan Letak Periode
Letak periode suatu unsur dapat diramalkan dari jumlah kulit electron dari unsur tersebut. Jumlah kulit ditandai dengan angka di depan subkulit yang terbesar. Jadi , bila konfigurasi terakhir ns, np, (n-1)d ns,(n-2)f, (n -1)d10 ns2 berarti unsur tersebut pada periode n.

2.7.   Kerangka Konseptual
Dalam kegiatan belajar mengajar guru harus dapat memilih model mengajar yang tepat untuk siswa sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa dapat semaksimal mungkin. Banyak model mengajar yang digunakan oleh guru tetapi model mengajar yang dimaksudkan dalam hal ini adalah model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK).
M3PK merupakan salah satu model pembelajaran menginduksi perubahan konsep dimana di dalam model ini perubahan konsep ditekankan pada tiga aspek utama, yaitu intelligibility yang artinya konsep itu memiliki arti/makna dalam diri siswa. Aspek yang kedua adalah plausibility yang artinya siswa yakin bahwa konsep yang diterimanya benar. Sedangkan aspek yang ketiga yaitu fruitfulness yang artinya konsep itu memberikan “buah” bagi dirinya. Dengan kata lain konsep tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa dan memotivasi siswa sehingga memberi pemahaman konsep yang baik terhadap materi yang dipelajarinya. Jadi dengan menerapkan model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) dalam pembelajaran kimia pokok bahasan struktur atom maka siswa akan terlatih memahami konsep-konsep penting dan akan meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi tersebut.

2.8.       Penelitian Sejenis
Penelitian dengan menggunakan model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) telah banyak dilakukan oleh peneliti, yaitu:
1.        Mandra Andreas Purba
Penelitian yang dilakukan dengan judul pengaruh model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) Simson Tarigan terhadap hasil belajar siswa pada kelas X semester I SMA Yayasan Perguruan Budi Medan. Penelitian ini menggunakan 1 kelas control dan 1 kelas eksperiment. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai rata rata hasil belajar pada kelas eksperimen  dengan menerap kan Model Mengajar menginduksi Perubahan Konsep lebih tinggi (  = 7,00 ± 0,833 )  daripada kelas control yang tidak menerapkan Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (  = 6, 16  ± 1,054 ). Uji hipotesis diperoleh harga t hitung = 3,471 dan t table = 2,002 (t hitung  > t table )  dengan taraf signifikan ά = 0,05.

2.        Tetty M Lumban Gaol
Penelitian yang dilakukan dengan judul pengaruh model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) Simson Tarigan terhadap hasil belajar kimia siswa pada pokok bahasan laju reaksi di kelas XI SMA Negeri 12 Medan. Dari analisa data diperoleh nilai rata-rata skor tes awal (pre-tes) siswa kelas eksperimen diperoleh sebesar 3,47 dengan standar deviasi 0,91 dan rata-rata skor post-tes diperoleh sebesar 7,78 dengan standar deviasi 0,92. Sedangkan pada kelas kontrol rata-rata skor tes awal (pre-tes) siswa sebesar 3,41 dengan standar deviasi 0,79 dan rata-rata skor pos tes diperoleh sebesar 7,30 dengan standar deviasi 0,89. Berdasarkan hasil tersebut maka dilakukan pengujian hipotesis, dengan hasil analisis uji-t diperoleh thitung = 2,62 dan ttabel =1,94 pada taraf signifikansi α=0,05 dengan dk=78, berarti thitung > ttabel, artinya bahwa ada pengaruh yang signifikan dari model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) Simson Tarigan terhadap hasil belajar kimia siswa.
3.        Bonarita Br. Tarigan
Keberhasilan model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) dalam pembelajaran telah banyak diteliti diantaranya oleh Bonarita Br. Tarigan, dimana peneliti mengadakan penelitian di SMA Negeri 1 Kabanjahe. Hasil data pos-test menunjukan bahwa untuk kelas eksperimen diperoleh rata-rata nilai hasil belajar 7,53 dengan simpangan baku SD = 1,18 sedangkan untuk kelas control diperoleh rata-rat nilai hasil belajar 6,95 dengan simpangan baku SD = 1,07.





2.9.   Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan suatu dugaan sementara yang kebenarannya masih memerlukan jawaban. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha   :    Hasil belajar kimia siswa dengan menggunakan Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan lebih tinggi dari hasil belajar kimia siswa tanpa menggunakan Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan
Ho   :    Hasil belajar kimia siswa dengan menggunakan Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan lebih rendah dari hasil belajar kimia siswa tanpa menggunakan Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan

Hipotesis Statistik :
                     Ha  :    μ2 > μ1
                            Ho :     μ2 ≤ μ1
μ2    : Hasil belajar kimia siswa dengan menggunakan Model Mengajar Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK)
μ1     : Hasil belajar kimia siswa tanpa menggunakan Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (konvensional)

 BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.        Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA Swasta Teladan P.Siantar pada bulan Juli- Agustus 2011.

3.2.        Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI SMA Swasta Teladan P.Siantar Tahun Ajaran 2011/2012. Jumlah kelas XI sebanyak 3 kelas.
3.2.2 Sampel Penelitian
Sampel diambil secara purporsive, sebanyak 2 (dua) kelas. Dimana satu kelas dijadikan kelas kontrol dan satu kelas lainya dijadikan kelas eksperimen dengan jumlah sampel 78 orang.

3.3. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu variabel bebas (x) dan variabel terikat (y).
3.3.1. Variabel Bebas
 Variabel bebas (x) dalam penelitian ini adalah model mengajar menginduksi perubahan konsep dan
3.3.2. Variabel Terikat
Variabel terikat (y) dalam penelitian ini adalah hasil belajar kimia siswa pada sub pokok bahasan Sistem Periodik Unsur.




3.4.        Rancangan Penelitian
Model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) diterapkan pada kelas eksperimen. Pada kelas kontrol dalam proses belajar mengajar tanpa menerapkan model mengajar M3PK. Lebih jelasnya dapat diperlihatkan pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.2 Desain Penelitian
Kelompok
Test Awal
Perlakuan
Test Akhir
Eksperimen
T1
X1
T2
Kontrol
T1
X2
T2

Keterangan:
T1         : Pemberian test awal (pre-test)
T2         : Pemberian test akhir (post-test)
X1          : Perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen dengan menerapkan model mengajar menginduksi perubahan konsep.
X2        : Perlakuan yang diberikan pada kelas kontrol tanpa menerapkan model  mengajar menginduksi perubahan konsep.

            Pada penelitian ini kelas sampel yang terdiri atas dua kelas dibagi kedalam dua golongan yaitu sebagai kelas control dan yang lainya sebagai kelas eksperiment. Pada kelas kontrol dan eksperimen dilakukan pre-test yang sama dengan soal yang sama terlebih dahulu. Setelah melakukan pre-test kemudian diberi perlakuan yaitu pada kelas kontrol dilakukan pembelajaran yang bersifat konvensional dan pada kelas eksperiment diberi pembelajaran dengan menggunakan M3PK Simson Tarigan.
            Untuk lebih jelasnya mengenai rancangan penelitian yang akan dilaksanakan, perhatikan gambar berikut ini:


 























Gambar 3.1 Skema Prosedur Penelitian



3.5.  Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes objektif yaitu dalam bentuk pilihan berganda, dengan jumlah soal sebanyak 20 soal. Jumlah option setiap soal disediakan lima butir. Sebelum instrumen digunakan ke kelas eksperimen, terlebih dahulu diujicobakan kepada siswa kelas XII sebanyak 40 soal untuk mengetahui validitas, reabilitasnya, taraf kesukaran tes  dan daya beda.
1.      Validitas Test
Untuk menguji validitas test digunakan rumus product moment (momen hasil) angka kasar(Silitonga, 2011) yaitu :
 Rxy =
Keterangan    rxy = koefisien korelasi product moment
                                      N   = jumlah seluruh siswa
                                      X   = skor butir soal
                                      Y    = skor total
Untuk menafsirkan harga validitas untuk setiap soal, maka harga tersebut dikonsultasikan ke tabel harga kritik r product moment dengan α = 0,05 dengan kriteria, jika rhitung > rtabel maka soal disebut valid.
Kriteria:
                             Antara   0,80 – 1,00    validitas sangat tinggi
                                           0,60 -  0,80    validitas tinggi
                                           0,40 – 0,60     validitas cukup
                                           0,20 – 0,40    valididtas rendah
                                           0,00 -0,20      validitas sangat rendah
2.      Reabilitas Test
Untuk menguju reabilitas test digunakan rumus Kuder dan Richardson (KR - 20), (Silitonga, 2011)
r11 = 
S2 =
Q = 1-p
Dimana :
 r11 = Koefisien reliabilitas tes
K         = Jumlah butir tes
p          = Proporsi subjek yang menjawab benar
q          = Proporsi subjek yang menjawab salah
S2         = Varians skor
 Dengan kriteria pengujian :
Jika r hitung > r tabel untuk  = 0,05 maka test tersebut dinyatakan reliable
3.      Tingkat Kesukaran Soal
Untuk menghitung tingkat kesukaran soal digunakan rumus yang dinyatakan oleh (Silitonga, 2011).
                       
Dimana :
P = Indeks kesukaran item
B = Banyak siswa yang menjawab soal itu dengan benar
T = Jumlah peserta tes
Dengan ketentuan :
P berkisar antara 0,20 – 0,80
Jika P < 0,20 (tes terlalu sulit)
Jika p > 0,80 (tes terlalu mudah)

4.      Daya Pembeda Soal
Untuk menghitung daya pembeda soal digunakan rumus yang dinyatakan oleh (Silitonga, 2011) yaitu :
 DP =  -
Keterangan :    JA = jumlah peserta kelompok atas
                        JB = jumlah peserta kelompok bawah
                        BA = jumlah kelompok atas yang menjawab benar
                        BB = jumlah kelompok atas yang menjawab salah
            Adapun kriteria daya pembeda “D” berkisar antara  +0,20 s/d +1,0

3.6. Tehnik Pengumpulan Data
            Dalam penelitian ini, langkah-langkah yang dilakukan untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pretes
            Pemberian pretes dilakukan sebelum dilakukan pengajaran kepada kelompok sampel untuk mengetahui kemampuan awal siswa (rendah, sedang, tinggi). Setelah pretes selesai dilakukan, maka siswa yang nilainya rendah dibuat dalam kelompok siswa yang berkemampuan awal rendah. Siswa yang nilainya sedang ke dalam kelompok kemampuan awal siswa yang sedang dan demikian juga yang nilainya tinggi dibuat dalam kelompok siswa yang berkemampuan awal tinggi. Soal pretes sebanyak 20 dan soalnya sama untuk setiap kelas. Pretes dilaksanakan dalam 30 menit.
2. Melakukan penelitian dalam kelas
Guru mengajarkan materi hidrolisis garam dengan menggunakan model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) pada kelas eksperiment dan model konvensional pada kelas control. Awal pembelajaran pada kelas eksperiment dimulai dengan memberikan materi berupa hand out dan memberikan kepada siswa belajar mandiri dengan membaca, mencatat, dan memahami konsep-konsep yang terkandung didalamnya. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana konsep siswa. Konsep siswa yang belum benar maupun yang benar namun belum terstruktur diinduksikan ke konsep yang baru dan benar.           
3. Pelaksanaan postes
Postes diberikan setelah proses belajar mengajar selesai untuk mengetahui hasil belajar siswa. Instrumen yang diberikan kepada kedua  kelas adalah sama. Dimana soal postes sama dengan pretes.

3.7. Teknik Analisis Data
Untuk penelitian ini teknik analisis data dilakukan dengan melakukan uji normalitas data, uji hipotesis, dan  homogenitas data.
1.                  Uji Normalitas
Uji normalitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak, untuk menguji normalitas ini digunakan prosedur:
- Membuat tabel distribusi frekuensi dari data yang diperoleh
- Menghitung rata- rata ()
- Pengamatan X1, X2, X3,….Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2, Z3,....Zn dengan menggunkan rumus:
            Zi = , ( da S masing- masing merupakan rata- rata dan simpangan baku sampel)
- Untuk setiap bilangan baku dan menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F(Zi) = peluang (z ≤ zi).
- Selanjutnya dihitung proporsi Z1, Z2, Z3,....Z=n yang lebih kecil atau sama dengan Z=i. Jika proporsi ini dinyatakan oleh s(zi) maka:
S(zi) =
- Menghitung selisih F(zi)- S(zi) kemudian ditentukan harga mutlaknya.
Kriteria pengujian dengan α = 0,05 adalah jika L=hitung< Ltabel maka data berdistribusi normal.
2.                    Uji Homogenitas
Pengujian homogenitas varians data dua kelompok sampel atau lebih dilakukan dengan uji F dengan rumus:
Fhitung =
Jika Fhit < Ftabel (α) (db=(n1-1)(n2-1) maka Ho diterima (data homogen). (Silitonga,2011)
3.                    Uji Hipotesis
Uji hipotesis yang digunkan adalah uji pihak kanan. Uji pihak kanan digunakan bila Hipotesis alternatif berbunyi”lebih besar”, diatas (>), dan menggunakan uji hipotesis dua arah. Dengan menngunakan rumus dibawah ini dapat dihitung:
                                   (Sudjana,2005)           
Keterangan:
  = nilai rata-rata kelas eksperimen
= nilai rata-rata kelas kontrol
s    = simpangan baku
  = jumlah siswa di kelas eksperimen
  = jumlah siswa di kelas kontrol
thit = harga t yang dihitung



Keterangan:
  = jumlah siswa di kelas eksperimen
  = jumlah siswa di kelas kontrol
  = varians kelas eksperimen
  = varians kelas kontrol
Yang dapat dilihat dari kriteria pengujian dibawah ini sebagai berikut :
-  Terima Ho jika thitung < tα  dan tolak Ha
-   Tolak Ho jika thitung  > tα  dan terima Ha

4.                    Peningkatan Hasil Belajar
Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar untuk tiap-tiap kelas eksperimen dilakukan uji berikut:
Dengan kriteria g (gain ternormalisasi) :
             g < 0,3            = rendah
            0,3≤ g ≤0,7      = sedang
            g > 0,7             = tinggi
Persen peningkatan hasil belajar siswa yang diajar dengan M3PK dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Dimana:
 = rata-rata nilai pre test
 = rata-rat nilai post test









2 komentar:

  1. Balasan
    1. sori telat balas bos.... sudah ada saya share kan di gadget Contoh Proposal

      Hapus