BAB
I
LATAR
BELAKANG
Undang-Undang Sisdiknas
mengemukakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Tim Pengajar, 2009).
Pendidikan sangat
penting dalam penentu kemajuan suatu negara dan kesejahteraan rakyat. Tidak ada
suatu negara maju memiliki mutu pendidikan yang rendah. Seperti halnya Jepang dan
Amerika Serikat adalah negara yang mempusatkan sistem politiknya dalam bidang
pendidikan yaitu dengan cara menekankan pendidikan sebagai prioritas utama
dalam pembangunan negaranya.
Perbaikan mutu pendidikan di Indonesia
dapat dilakukan dengan perbaikan sistem belajar dan pembelajaranya. Dalam buku
psikologi pendidikan menjelaskan bahwa inti kegiatan pendidikan adalah proses
belajar dan pembelajaran. Belajar dapat berlangsung secara Internal terhadap
semua pengalaman belajar dan dapat berlangsung melalui pengalaman yang
dirancang guru. (Tim Dosen, 2010).
Mutu pendidikan di Indonesia yang masih rendah menyebabkan negara Indonesia
saat ini masih belum bisa menjadi suatu negara yang maju dan sejahtera. Untuk
itu perlu adanya perbaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan sistem pendidikan
di negara ini. Dari keseluruhan perangkat tenaga penggerak sektor pendidikan, Guru
merupakan tenaga pelaksana yang sangat menentukan.
Hal ini didukung oleh Abdul Hamid K. (2007)
yang menyatakan bahwa di antara
faktor-faktor lain, guru sebagai penggerak proses belajar mengajar memainkan
peranan yang sangat besar. Tingkat keterlibatan siswa serta interaksi yang
terjadi dalam proses belajar mengajar sangat tergantung pada guru, apakah ia
mampu mengembangkan suatu sistem instruksional atau tidak. Guru yang baik akan
selalu menerapkan berbagai alternatif pendekatan dalam pengelolaan proses
belajar mengajar untuk menghasilkan suatu proses belajar mengajar yang inovatif
dan lebih efisien.
Guru merupakan faktor
terpenting dalam pendidikan. Gurulah yang menjadi pemegang kendali berhasil
atau tidaknya suatu proses belajar-mengajar. Untuk itulah, sebagai pengajar
guru hendaknya dapat menerapkan model atau metode pengajaran yang bervariatif
dan sesuai bagi siswanya.
Mukhtar (2005)
menjelaskan bahwa “ memilih metode dan model yang baik dan dikuasai dengan
matang oleh seorang guru dalam peristiwa
pembelajaran, akan menentukan berhasilnya sebuah pembelajaran. Selain itu tentu
saja seorang guru harus mengenali karakteristik siswa, menguasai materi,
menggunakan sarana penunjang pembelajaran, dan memiliki keterampilan mengajar”.
Pelajaran kimia
merupakan pelajaran yang bersifat abstrak, namun demikian masih sering kita
temukan pola pembelajaran yang digunakan tidak efektif seperti penyajian materi
dan penyelesaian soal-soal yang berbau rumus dan hafalan, hal ini menyebabkan
siswa kurang meminati pelajaran ini dan menganggap kimia adalah pelajaran yang
sulit, terkesan menakutkan dan tidak jarang siswa merasa kurang mampu untuk
mempelajarinya. Dampak yang timbul adalah banyaknya siswa yang tidak menguasai
konsep dasar kimia.
SMA Swasta Teladan P.
Siantar merupakan sekolah asal peneliti dan merupakan sekolah yang memiliki
kualitas pembelajaran kimia yang masih kurang baik. Hal ini diperoleh peneliti dari wawancara dengan guru
mata pelajaran. Pembelajaran
kimia merupakan pembelajaran yang pada umumnya bersifat hirarki antara satu
materi dengan materi lainya. Kesalahan konsep pada materi
tertentu akan mempengaruhi konsep siswa pada materi lainya. Driver dalam penelitianya
menyimpulkan bahwa “ seorang anak, walaupun masih sangat muda sudah memiliki
konsep-konsep/ ide-ide tentang hal-hal yang di temuinya dalam kehidupanya. Dan
ide ini memainkan peranan penting dalam pengalaman belajar”. Apa yang
memungkinkan anak mampu belajar dengan baik adalah apa yang sudah ada dalam
benak mereka, menemukan jati diri mereka sendiri. (Tarigan, 1999).
Jadi sebelum memulai
pembelajaran, guru perlu melakukan treatment
untuk mengetahui pengetahuan awal siswa.Konsep yang salah pada siswa tentu akan
menyebabkan efek yang negatif pada siswa. Untuk itu guru harus mampu meluruskan kembali konsep siswa tesebut
dengan cara menerapkan strategi perubahan konsep sehingga siswa dapat melihat
kekeliruan konsepnya dan beralih pada konsep baru yang benar dan dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Berdasarkan hasil penelitian
sejenis seperti Purba (2006) menunjukan bahwa hasil belajar kelas eksperimen yang
menggunakan Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan (
= 7,00 ± 0,833 ) lebih
tinggi dari kelas kontrol dengan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab (
= 6, 16 ± 1,054 ). Bonarita (2006), pada kelas
eksperimen diperoleh rata-rata hasil belajar 7,53 dengan simpangan baku SD = 1,18 dan pada
kelas control diperoleh rata-rata nilai hasil belajar 6,95 dengan simpangan baku SD
= 1,07. Tetty (2007), pada
kelas eksperimen rata-rata hasil belajar 7,78 dengan standar deviasi 0,92 dan
pada kelas control rata –rata hasil belajar 7,30 dengan standar deviasi 0,89. Bertitik
tolak dari semua itu peneliti merasa tertarik untuk mengadakan suatu penelitian
dengan judul “Pengaruh Model Mengajar
Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan Terhadap Hasil Belajar Kimia
Siswa Pada Pokok Bahasan Sistem Periodik Unsur Kelas XI IPA SMA Swasta Teladan
P.Siantar”.
1.2.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
·
Rendahnya mutu pendidikan saat ini
·
Penggunaan metode atau model yang tidak
tepat
·
Adanya kesalahan konsep pada siswa
mengenai materi pelajaran.
1.3.
Batasan Masalah
Batasan masalah
yaitu:
- Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XI pada
pokok bahasan Sistem Periodik Unsur.
·
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan M3PK sebagai model pembelajaran di SMA Swasta Teladan P. Siantar.
1.4.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
batasan masalah diatas, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
“
Seberapa besar pengaruh model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) Simson
Tarigan terhadap hasil belajar kimia siswa pada pokok bahasan Sistem Periodik
Unsur kelas XI SMA Swasta Teladan Pematang
Siantar tahun ajaran 2011/2012”.
1.5.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh M3PK Simson Tarigan terhadap hasil belajar kimia siswa pada
pokok bahasan Sisitem Periodik Unsur kelas XI IPA SMA Swasta Teladan P. Siantar
tahun ajaran 2011/2012.
1.6.
Manfaat Penelitian
Manfaat
yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
·
Bagi guru dan calon guru, berguna
sebagai bahan masukan dalam hal memilih model mengajar menginduksi perubahan
konsep sebagai salah satu model mengajar dalam pengajaran kimia
·
Bagi sekolah, bermanfaat untuk mengambil
keputusan yang tepat bagi peningkatan kualitas pengajaran serta sebagai
perkembangan atau bahan rujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa khusus dalam
pengajaran kimia.
·
Bagi siswa, dapat meningkatkan hasil
belajar kimia serta dapat diterapkan sebagai motivasi belajar pada pelajaran.
1.7.
Defenisi Operasional
Model mengajar
menginduksi perubahan konsep (M3PK) adalah suatu model pembelajaran yang
bertujuan untuk menginduksi konsep yang benar dan terstruktur kepada siswa.
M3PK ini merupakan model pembelajaran yang bersifat konstruktivis. Siswa
dituntun membangun pemahaman sendiri atau dengan kata lain siswa menjadi pusat
pembelajaran. Di dalam model ini perubahan konsep ditekankan pada tiga aspek utama, yaitu intelligibility
yang artinya konsep tersebut memiliki arti atau makna dalam diri siswa. Aspek
yang kedua adalah plausible yang artinya siswa yakin bahwa konsep yang
diterimanya benar. Sedangkan aspek yang ketiga adalah fruitfull yang artinya
konsep tersebut memberikan “buah” bagi dirinya.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Pengertian
Belajar dan Hasil Belajar
2.1.1. Pengertian
Belajar
Dalam keseluruhan proses
pendidikan di sekolah kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok.
Ini berarti berhasil tidaknya tujuan pencapaian pendidikan banyak tergantung
kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik.
Pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek bentuk dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh
para pendidik. Kekeliruan atau ketidak lengkapan persepsi mereka terhadap
proses belajar dan hal-hal yang berkaiatan dengannya akan mengakibatkan kurang
bermutunya hasil pembelajaran yang dicapai.
Belajar dan mengajar
mempunyai proses hubungan yang erat dalam suatu pencapaian tujuan pendidikan.
Dari proses belajar mengajar ini akan diperoleh hasil belajar dan akan
mengakibatkan perubahan pada siswa.
Belajar adalah perubahan perilaku seseorang akibat pengalaman yang didapat
melalui pengamatan, pendengaran dan membaca.
Hergenhahn, B.R dan Matthew
H. Olson (2008) menyatakan bahwa belajar adalah perubahan perilaku atau potensi
perilaku yang relative permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak bisa
dinisbahkan ke temporary body states
( keadaan tubuh temporer) seperti keadaan yang disebabkan oleh sakit, keletihan
atau obat-obatan. Hasil belajar harus selalu diterjemahkan kedalam perilaku
atau tindakan yang dapat diamati. Setelah menjalani proses pembelajaran si
pembelajar ( siswa ) akan mampu melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka
lakukan sebelum mereka belajar.
Dari pernyataan diatas dapat
disimpulkan bahwa “ belajar adalah perubahan tingkah laku”. Perubahan ini dapat
berupa pengembangan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang nantinya diharapkan
mampu memecahkan masalah yang dihadapinya.
2.1.2. Pengertian
Hasil belajar.
Sejauh mana tujuan belajar
tercapai maka perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi tersebut disebut hasil
belajar. Hasil belajar yang diperoleh dapat berupa pengetahuan, sikap dan
ketrampilan.
Hasil belajar adalah
kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar yang terprogram
dan terkontrol yang disebut kegiatan pembelajaran dan tujuan belajar telah
ditetapkan terlebih dahulu oleh guru. Proses belajar mencapai puncaknya pada
hasil belajar.
Umumnya hasil belajar dibedakan menjadi :
a. Hasil
belajar tinggi
b. Hasil
belajar sedang
c. Hasil
belajar rendah
Hasil belajar mengajar adalah
suatu proses tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila Tujuan
Instruksional Khusus (TIK) nya dapat tercapai. Yang menjadi petunjuk bahwa
suatu proses belajar-mengajar dianggap berhasil adalah hal-hal sebagai
berikut :
a. Daya
serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik
secara individu maupun kelompok
b. Perilaku
yang digariskan dalam Tujuan Instruksional Khusus (TIK) telah tercapai oleh
siswa, baik secara individu maupun kelompok.
Namun demikian indikator yang banyak dipakai sebagai
tolak ukur keberhasilan adalah daya serap (Djamarah dan Zaia, 1996)
2.2. Model Mengajar Menginduksi Perubahan
Konsep
Model mengajar menginduksi perubahan konsep
merupakan salahsatu model pembelajaran yang mengadopsi paham atau aliran
konstruktivisme. Pemikiran ini memiliki arti bahwa siswa lah yang
mengkonstruksi pemikiran siswa tersebut. Jadi pembelajaran ini berpusat pada
siswa.
2.2.1. Pemikiran
Konstruktivisme
Pemikiran konstruktivisme menurut
fosnot adalah pemikiran bahwa pembelajar secara aktif mengkonstruk
pengetahuanya dan mengartikanya berdasar pada penggalaman pengetahuan yang
telah diperolehnya terlebih dahulu (Widodo,2007).
Inti sari konstruktivisme
bersandar pada epistemology yang menekankan pada subyektivitas dan relativisme,
yaitu suatu konsep walaupun secara nyata mungkin dibedakan dari pengalaman,
atau yang hanya diketahui melalui penalaman
dan menghasilkan realitas unik seseorang.
Konstrutivisme beranggapan
bahwa pengetahuan merupakan konstruksi
(bentukan) dari “skema” diri yang dimiliki pembelajar. Oleh karena itu,
pengetahuan ataupun pengertian dibentuk oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima
secara pasif dari guru-guru mereka. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu
saja dasri otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (subyek belajar) karena
pengetahuan bukanlah barang yang dapat ditransfer begitu saja dari dari pikiran
seseorang kepada orang lain, subyek belajarlah yang mengartikan apa yang telah
diajarkan dengan penyesuaian terhadap pengalaman-pengalaman merreka.
Menurut Widodo (2007), ada lima tahapan
pembelajaran yang konstruktivis, yaitu :
1)
Pendahuluan
: Tahap penyiapan pembelajar untuk mengikuti kegiatan pembelajaran.
2)
Eksplorasi
: Tahap pengidentifikasian dan pengaktifan pengetahuan awal pembelajar.
3)
Restrukturisasi
: Tahap restrukturisasi pengetahuan awal pembelajar agar terbentuk konsep yang
diharapkan.
4)
Aplikasi
: Tahap penerapan konsep yang telah dibangun pada konteks/ kondisi yang berbeda
ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
5)
Review
dan Evaluasi : Tahap peninjauan kembali apa yang telah terjadi pada diri
pembelajar berkaitan dengan suatu konsep/ pembelajaran.
2.2.2 Lingkungan
Pembelajaran yang Konstruktivis
Menurut Widodo ada lima unsur penting dalam
lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu ;
1.
Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa.
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi
penegetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan
memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya.
2.
Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna. Segala
kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa
sehingga bermakan bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap dan kebutuhan
belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan
melakaukan pembelajaran
3.
Adanya linkungan social yang kondusif. Siswa diberi
kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesame siswa maupun
dengan guru.
4. Adanya
dorongan agar si pembelajar bisa mandiri. Siswa didorong untuk bisa bertanggung
jawan terhadap proses belajarnya.
5. Adanya
usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah. Sains bukan hanya produk
(fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh
karena iu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa
tentang kehidupan ilmuwan. (Widodo, 2007).
Dari pendapat para ahli ini
dapat di lihat bahwa konsep awal siswa atau pengetahuan awal siswa harus
diperhatikan dalam proses belajar-mengajar dan didukung oleh suasana yang
kondusif hal ini bertujuan untuk menghasilkan tujuan belajar yang baik.
2.2.3. Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan
Dalam proses belajar mengajar
guru haruslah mengetahui bagaimana konsep pemikiran siswa sebelum kita
menjelaskan mengenai materi yang akan dibawakan. Konsep awal siswa mempengaruhi
bagaimana tujuan pembelajaran akan tercapai. Konsep disini maksudnya adalah
pengetahuan awal yang dimiliki siswa sebelum proses belajar mengajar. Perubahan
yang terjadi bukan karena adanya penekanan otoritas eksternal atau karena
factor intimidasi dan pemaksaan, namun berjalan dengan wajar.
Model mengajar menginduksi
perubahan konsep dikontribusi berdasarkan pemikiran konstruktivisme. Selama ini
gagasan pribadi anak diabaikan dalam proses belajar mengajar padahal mereka
telah memiliki sesuatu, sedikit atau banyak telah berkembang atau sama sekali
masi kuncup. Dengan demikian tugas para
pendidik untuk mengembangkan konsep siswa ini menjadi lebih bersifat ilmiah dan
benar.
Menurut Reimann dan Schult dalam Slavin (2008)
bahwa “ konsep awal siswa yang naïf dan tidak ilmiah perlu dimodifikasi, peran
pendidik dalam menginduksi konsep baru yang bersifat ilmiah dan benar.Dalam
memperkenalkan konsep baru , guru seharusnya menggunakan contoh serupa hingga
siswa memahami konsep tersebut dan menggunakan berbagai contoh yang masih
memperlihatkan aspek-aspek mendasar konsep tersebut”.
Secara umum, strategi
menginduksi untuk melakukan perubahan konsep, dapat di jelaskan melalui bagan
berikut ini.
Dibandingkan
Gambar 2.1. Struktur Pengajaran Melakukan Perubahan
Konsep
Langkah-langkah diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
Urutan pertama adalah tahap
orientasi. Pada tahap orientasi, dilakukan serangkaian pembicaraan sedemikian
rupa sehingga akhirnya mengarah kepada tahap identifikasi konsep siswa. Selanjutnya
dari tahap orientasi dilakukan tahap identifikasi konsep siswa. Pada tahap ini
di analisis konsepsi siswa, sehingga dapat diidentifikasi apakah konsep yang
dimiliki siswa sudah benar atau belum. Pada tahap ini guru berperan sebagai pendengar, sementara siswa memberi
penjelasan. Jika penjelasan siswa belum terstruktur, maka sambil
mendengarkan guru memberi pertanyaan-pertanyaan tertentu, sehingga siswa mampu
menstrukturisasikan idenya. Dengan pernyataan-pernyataan tertentu, guru membawa
siswa kedalam situasi yang bertentangan, yang tidak bisa dijelaskan dengan
konsep siswa tersebut. Setelah menyadari kelemahan penjelasannya, maka guru
mulai dengan konstruksi baru.
Pada tahap evaluasi guru
memberikan evaluasi lisan/tertulis untuk mengetahui apakah konsep baru siswa
tersebut sudah dikuasai oleh siswa. Selanjutnya siswa dihadapkan dengan situasi
yang harus dipecahkannya dengan ide baru yang sudah diperolehnya. Artinya siswa
dibawa kepada penerapan praktis. Selanjutnya guru melakukan kajian ulang
terhadap ide-ide baru tersebut, yang dibandingkan dengan ide siswa sebelumnya,
sehingga siswa bisa melihat kebenaran ide baru terebut sekaligus melihat
kelemahan dan kekurangan dari ide yang dimilikinya sebelumnya.
Rekonseptualisasi (restrukturisasi
kuat) hanya mungkin terjadi jika seorang guru mengetahui konsep yang dimiliki
anak tentang permasalahan tersebu, dan melakukan perubahan konsep berdasarkan
pengetahuan awal yang dimiliki anak.
Dengan demikian terlihat ada
empat aspek yang ditekan dalam melakukan perubahan konsep, yaitu :
1. Melalui
perubahan konsep seorang anak mampu memecahkan masalah yang dihadapinya.
2. Dia
mengerti dan menerima konsep IPA secara ilmiah.
3. Memiliki
pengertian yang jelas tentang “materi ilmiah”.
4. Mampu
membangun penjelasan ilmiah tentang fenomena yang dihadapinya.
Aspek diatas, merupakan sasaran pengajaran IPA dengan
orientasi agar pengajaran IPA bermakna dalam diri anak.
Dalam
melakukan perubahan konsep, konstruksi dan rekonstruksi yaitu masuknya
informasi baru akan menyebabkan terjadinya konflik (pertentangan) konsep dalam
diri siswa, berorientasi dari gagasan equilibrium (kesetimbangan) dan
disequilibrium (ketidakseimbangan), dengan konsep pemikiran sebagai berikut :
Jika seorang anak diperhadapkan dengan konsep/informasi yang bertentangan
dengan konsep yang terdapat dalam struktur kognitifnya, maka akan terbentuuk
semacam disekuilibrasi dalam diri siswa, yang mendorong si anak untuk melakukan
kontraksi kognitif mengarah kepada tercapainya kesetimbangan kembali. Dengan
perkataan lain, konsep yang diperhadapkan pada anak bertentangan dengan konsep
yang sudah ada dalam struktur kognitifnya. Sehingga anak diperhadapkan pada dua
alternatif yang bertentangan yang salah satunya harus dipilihnya.
Peran
guru dalam hal ini ialah “merendahkan” salah satu konsep (yang keliru
tentunya), sehingga konsep yang benar yang akan masuk memiliki status yang
lebih tinggi dan si anak dapat menerimanya sehingga tercapai suatu
kesetimbangan kembali.
Tujuan
“merendahkan” konsep yang keliru adalah untuk menciptakan perasaan tidak puas
dalam diri anak tentang konsep tersebut. Agar terjadi perubahan konsep
sebagaimana yang diharapkan, maka konsep yang akan masuk haruslah dapat berpadu
langsung dengan konsep yang sudah ada sebelumnya. Maka si anak merasakan bahwa
konsep baru tersebut memiliki arti/makna (intelligible) dan dia yakin akan
kebenaran konsep tersebut (plausible) dan juga jika konsep itu berbuah
(fruitfull), dalam diri siswa diterapkan dalam situasi praktis. Secara
skematis, perubahan konsep dapat digambarkan sebagai berikut:
E1
|
E3
|
E4
|
E5
|
E2
|
Gambar
2.2. Contoh Model Perubahan Konsep
Gambar di atas
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Anak
memiliki konsep C1. Dengan konsep ini mampu menjelaskan berbagai
fakta/ fenomena alam, yaitu: E1, E2, E3, dan En.
Dengan metode membangkitkan konflik kognitif (generating conflict cognitive),
guru memberikan fakta informasi En+1, yang bertentangan dengan fakta
sebelumnya sehingga dalam “negotiation of meaning”, katakanlah akhirnya si anak
menerima fakta En+1. Penerimaan fakta En+1, melahirkan
situasi baru, dimana anak akhirnya kembali menghadapi konflik yang mengharuskan
dia mengkaji kembali fakta E1, E2, E3, dan En.
Disinilah peranan guru sangat menentukan untuk mengarahkan anak kepada konsep
yang benar, sehingga akhirnya tercapai kestimbangan baru yaitu penerimaan
konsep baru.
2.2.4.
Konsep-Konsep Alternatif
Setiap siswa (anak) walaupun
masih sangat kecil, dia sudah memiliki konsep atau prakonsepsi tentang berbagai
hal dalam lingkungannya. Dia memiliki suatu pemikiran tersendiri dalam
menganalogiskan mengenai suatu hal peristiwa dan menyimpulkannya.
Pemikiran atau konsep yang dimiliki siswa
dinamakan konsepsi alternative. Dalam pelajaran SPU bagaimana pandangan atau
gagasan siswa terhadap struktur atom konfigurasi elektron dinamakan konsep awal
atau konsep alternatif siswa. Konsep
alternative yang paling sesuai dan, paling bermakna dan diyakini anak paling
bermanfaat akan dijadikan sebagai prinsipnya, inilah yang disebut dengan
“konsep anak”. Dimana ”konsep anak” ini lah yang menjadi patokan utama guru
dalam menentukan kegiatan pembelajaran.
Dalam memudahkan proses pembelajaran seorang
pendidik harus mampu mengetahui bagaimana “konsep anak” terhadap topik bahasan
yang akan dipelajari oleh siswa. Pengidentifikasian ini dapat
mempermudah guru menganalisa kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam
belajar, dan sekaligus memudahkan guru untuk melakukan konsep (Tarigan, 1999)
2.2.6. Kondisi
Untuk Melakukan Perubahan Konsep
Dalam melakukan perubahan
konsep ada tiga kondisi atau syarat yang harus diperhatiakn, yaitu Intelligible,
Plausible, Fruithfull (IPF)
1.
Apakah konsep itu memiliki arti/makna (Intelligible) untuk anak yang
mempelajarinya?
Kriteria untuk menentukan
apakah suatu konsep intelligible atau tidak, dapat dikemukakan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
Apakah siswa tahu apa maksud
dari konsep tersebut?
Apakah siswa mampu
menyampaikan konsep tersebut secara utuh?
2. Apakah anak merasa yakin bahwa konsep yang diterimanya itu benar (Plausible)?
Kriteria untuk menentukan
apakah suatu konsep masuk akal atau tidak dapat dikemukakan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
Jika siswa merasa bahwa konsep
tersebut masuk akal, apakah dia percaya bahwa konsep tersebut benar?
Apakah konsep tersebut
konsisten dengan konsep lain yang sudah diperoleh siswa?
Apakah konsep tersebut “dapat
berdamai” dengan konsep lain yang sudah
diterima siswa?
3. Apakah konsep itu member buah (Fruithfull) dalam diri siswa ?
Kriteria untuk menentukan apakah suatu konsep
bermanfaat atau tidak dapat dikemukakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut
:
Jika siswa merasa bahwa konsep
tersebut memiliki arti atau makna dan benar, apakah siswa merasa yakin bahwa
konsep tersebut bernilai (berguna) baginya?
Apakah dengan konsep itu dia
mampu memecahkan masalah yang selama ini menyulitkannya?
Apakah dengan mempelajari
konsep itu dia lebih mampu memahami atau mempelajari gagasan, idea tau konsep
lain?
Ketiga
kondisi diatas menjadi bahan perhatian bagi guru, guru harus mampu mengetahui
tentang status konsep siswa apakah sudah memenuhi kondisi “ IPF” diatas Peter, W. Hewson dan Richard Thorley
(Tarigan, 1999) mengatakan bahwa ketiga kondisi diatas menentukan status konsep
tersebut dalam diri siswa. Status konsep tersebut “naik” atau “turun” dalam
diri siswa tergantung dari apakah terpenuhi ketiga kondisi diatas. Suatu konsep
yang sangat penting tidak memiliki status yang “ tinggi” dalam diri siswa, hal
ini bisa disebabkan karena salahsatu dari ketiga kondisi di atas tidak
terpenuhi sehingga konsep tersebut kehilangan “kemasukakalanya” dan
“kebermanfaatanya”.
2.3. Pandangan Model Mengajar
Menginduksi Perubahan Konsep Pada Pengajaran
IPA
Konsep
adalah buah pikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam
definisi sehingga melahirkan produk pengetahuan meliputi prinsip, hukum dan
teori. Setiap orang sudah memiliki konsep-konsep atau ide-ide tentang hal-hal
yang ditemuinya.
Menurut
Kennet D. Moore, mengajar adalah sebuah tindakan dari seorang yang mencoba
untuk membantu orang lain mencapai kemajuan dalam berbagai aspek seoptimal
mungkin sesuai dengan potensinya. Madelina Hunter mengemukakan bahawa mengajar
adalah sebuah proses membuat dan melaksanakan sebuah keputusan sebelum, selama
dan sesudah proses pengajaran, yakni keputusan yang jika diambil seorang guru
akan mengakibatkan kemungkinan siswa untuk belajar.
Menurut Rosyada dalam Purba (2006) Konstruktivisme adalah
aliran yang mengembangkan pandangan tentang belajar yang menekankan pada empat
komponen, antara lain:
1.
Siswa membangun pemahamannya sendiri
dari hasil mereka belajar bukan karena disampaikan pada mereka.
2.
Pelajaran baru sangat tergantung pada
pelajaran sebelumnya.
3.
Belajar dapat ditingkatkan dengan
interaksi sosial.
4.
Penguasaan-penguasaan
dalam belajar dapat meningkatkan kebenaran proses belajar-mengajar.
Model
mengajar menginduksi perubahan konsep berlandaskan dari pemikiran
konstruktivisme. Dimana bahwa pengetahuan dibangun dalam diri siswa sendiri.
Sehingga akan memberikan peluang kepada siswa terlibat aktif meningkatkan
sasaran belajar, saling mengisi dalam pemecahan masalah.
Tugas
guru yang utama adalah menganalisis pengetahuan awal siswa. Apabila pengetahuan
awal yang dimiliki siswa bersifat naif atau tidak ilmiah maka tugas guru adalah
melakukan perubahan konsep menuju konsep yang ilmiah.
Skematis
Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) dapat digambarkan sebagai
berikut:
Benar
dan ilmiah
|
Pengetahuan awal siswa
|
Keliru
|
Alternatif
frame work
|
Perubahan
Konsep
|
Dikembangkan
|
Benar
dan ilmiah
|
Gambar 2.3.
Skema Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep
Dari
skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Pengetahuan awal yang dimiliki
anak terdapat kekeliruan ketika guru melakukan identifikasi. Informasi baru
dari guru diterima oleh anak dimana berbeda dengan informasi mana yang akan
diterima. Informasi-informasi tersebut yang akan dipilih anak disebut konsep
alternatif. Ketika anak menerima informasi baru yang disampaikan oleh guru,
anak mengalami perubahan konsep, artinya anak telah memiliki konsep yang benar
dan akhirnya akan dikembangkan. Sedangkan konsep awal yang dimiliki anak sudah
benar dan ilmiah, maka anak tinggal mengembangkan konsep tersebut.
Pada
pandangan ini, guru menyadari adanya pengetahuan awal siswa dan mampu melakukan
identifikasi secara cermat dan benar. Sehingga guru mengetahui apakah
pengetahuan awal siswa benar atau masih terdapat kekeliruan konsep. Dalam PBM
IPA diatas, guru mempertimbangkan pengetahuan awal siswa. Setelah PBM
berlangsung terlihat bahwa pengetahuan akhir siswa merupakan pengembangan dari
pengetahuan awal siswa itu sendiri.
2.4.Keunggulan Model Mengajar
Menginduksi Perubahan Konsep
Model
mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) mempunyai keunggulan-keunggulan,
antara lain:
1.
Siswa dapat dengan mudah membangun
pemahamannya sendiri dari materi yang diajarkan.
2.
Proses belajar mengajar lebih mudah dan
menyenangkan.
3.
Dengan menerapkam model mengajar
menginduksi perubahan konsep (M3PK), tugas guru akan menjadi lebih mudah dan
terarah.
4.
Hasil pembelajaran siswa lebih bermakna
dan maksimal.
Dalam
model pembelajaran model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK),
pendekatan guru adalah dengan pola pendekatan 25% - 50% - 25%, artinya:
-
25 % (Siswa dalam kategori A :
penguasaan konsep istimewa dengan baik)
-
50% (Siswa dalam kategori B : penguasaan konsep rata-rata)
-
25% (Siswa dalam kategori C : penguasaan konsep kurang/lambat)
Seorang
guru perlu mencatat nama-nama siswa yang termasuk kategori A (siswa yang
memiliki kemampuan berpikir intuitif tinggi) dan siswa yang memiliki kemampuan
rendah (kategori C).
Kriteria
Pencatatan :
a) Kemampuan mereka dalam memberikan argumentasi atas
pertanyaan guru secara lisan.
b) Kepiawaian atau kecepatan mereka dalam menjawab tes yang
diberikan kepada mereka.
c) Kriteria lain yang ditentukan oleh guru.
Dalam penentuan siswa kategori A, B, C peneliti melakukan
pembagian kelompok berdasarkan hasil belajar kimia siswa pada kelas X dalam
kelas tersebut dan dengan berdiskusi terhadap guru yang bersangkutan. Hal ini
bertujuan untuk pembagian kategori siswa kedalam pembagian 25 % kategori A, 50%
kategori B, dan 25 % kategori C.
Selanjutnya siswa yang masuk dalam kategori A akan
dipisahkan dengan siswa kategori C, dengan pola 1:1 atau 1:2. Artinya 1 siswa
kategori A dipadukan dengan 1 atau 2 siswa kategori C, dimana siswa kategori A
harus mengajari siswa kategori C dalam pokok bahasan yang sudah dipelajari (dalam
hal yang belum dipahaminya).
Dalam model M3PK diadakan remedial terhadap siswa yang
belum menguasai materinya. Berbeda dengan pola pembelajaran yang lain, dalam
model pembelajaran M3PK, tetap dilaksanakan pengajaran
remedial (remedial teaching) dan pengajaran pengayaan (enrichment teaching),
dengan pola yang berbeda. Kalau biasanya pengajaran remedial dilakukan oleh
guru, dalam model pembelajarran ini remedial dilakukan siswa kategori A.
2.5.
Langkah-Langkah Penerapan M3PK
M3PK Adalah sala satu model
pembelajaran yang menginduksi perubahan konsep. Konsep awal siswa yang bersifat
naïf, tidak benar, dan belum bersturktur di induksi untuk menghasilkan konsep
baru yang bersifat ilmiah, benar dan terstruktur.
Langkah-langkah dalam
operasional penerapan model mengajar menginduksi perubahan konsep :
1)
Strategi Awal
Dengan menciptakan konsep awal
siswa, waktu yang optimum satu minggu sebelum pokok bahasan tersebut diajarkan.
Konsep awal siswa ini dapat diperoleh melalui :
a)
Pengalaman sehari-hari
b) Pokok bahasan identik yang sudah pernah
dipelajarinya
c) Diciptakan oleh guru.
Guru menciptakan konsep awal siswa dengan cara
menyuruh mereka membaca, membuat ringkasan dari buku bacaan dan beberapa buku
lainya yang relevan tentang pokok bahasan yang akan dipelajari minggu depan.
Apabila siswa belum memiliki buku bacaan maka guru dapat memberikan fotocopyan
kepada siswa atau dalam bentuk hand out.
2)
Melakukan Identifikasi
Pada langkah ini guru mencari
informasi mengenai konsep-konsep yang telah dimiliki siswa. Identifikasi konsep
awal siswa ini dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada
siswa sehingga guru dapat mengetahui apakah konsep siswa sudah benar atau
salah. Ini dilakukan sebelum PBM berlangsung.
3)
Melakukan Perubahan Konsep
Perubahan konsep ditekankan
pada beberapa aspek, yaitu : Strukturisasi
Konsep, artinya jika konsep siswa sudah benar tapi masih belum terstruktur/
sempurna. Setelah guru mengetahui bagaimana konsep siswa, maka dilakukan
perubahan konsep/menginduksi konsep baru yang benar, ilmiah, dan terstruktur.
Konsep baru ini haruslah Intelligibility,
artinya konsep itu memiliki arti/
makna dalam diri siswa. Plausible, artinya
siswa yakin bahwa konsep yang diterimanya adalah benar. Fruitful artinya konsep itu memberikan ”buah” bagi
dirinya bagi dirinya. Dengan kata lain, konsep itu bisa diterapkannya dalam
kehidupanya sehari-hari. Repetisi, artinya
pengulangan proses belajar mengajar bila diperlukan.
2.6. Materi Bahasan Sistem Periodik Unsur
2. 6.1. Struktur
Atom
Teori Atom Niels Bohr dan Mekanika Kuantum
1.
Spektrum Atom
Berdasarkan ilmu
fisika, kita mengetahui bahwa pelangi terjadi karena berkas sinar matahari
diuraikan oleh butir- butir air hujan. Hal serupa juga dapat terjadi jika
seberkas sinar matahari dijatuhkan pada sebuah prisma. Pelangi merupakan bukti
bahwa sinar matahari merupakan gabungan dari berbagai warna (panjang gelombang)
secara sinambung, yaitu merah-jingga-kuning-hijau-biru-ungu. Uraian warna yang sinambung seperti pelangi, kita
sebut spektrum kontinu.
Berbeda halnya dengan sinar matahari, radiasi
(cahaya) yang dihasilkan oleh unsur gas yang berpijar hanya mengandung beberapa
panjang gelombang (warna) secara terputus – putus, sehingga disebut spektrum
diskontinu atau spektrum garis.
2.
Model Atom Niels Bohr
Telah disebutkan bahwa spektrum atom berupa spektrum
garis, pada tahun 1913, Niels Bohr dapat menjelaskan fenomena ini dengan
menggunakan teori kuantum Planck. Menurut Bohr, spektrum garis menunjukan bahwa
elektron dalam atom hanya dapat beredar pada lintasan – lintasan dengan tingkat
energi tertentu. Pada lintasan itu, elektron dapat beredar tanpa pemancaran
atau penyerapan energi. Lintasan elektron tersebut berupa lingkaran dengan jari
–jari tertentu yang disebut sebagai kulit atom.
Setiap kulit ditandai dengan suatu bilangan yang
disebut bilangan kuantum (n), yaitu dimulai dari kulit paling dalam, n= 1,2,3,4,
dan seterusnya, dan dinyatakan dengan lambang K, L, M, N, dan seterusnya.
Pada keadaan normal, elektron menempati kulit- kulit
dengan tingkat energi terendah. Keadaan dimana elektron mengisi kulit- kulit
dengan tingkat energi terendah, disebut tingkat
dasar. Apabila mendapat energi dari luar, maka elektron akan menyerap
energi yang sesuai lalu pindah ke tingkat energi yang lebih tinggi. Keadaan
dimana elektron ada yang menempati tingkat energi yang lebih tinggi, disebut keadaan eksitasi. Keadaan tereksitasi
nerupakan keadaan yang tidak stabil dan hanya berlangsung pada waktu yang
singkat.
Oleh karena perpindahan elektron ini berlangsung
antara kulit yang sudah tertentu tingkat energinya, maka atom hanya akan
memancarkan radiasi dengan tingkat energi yang tertentu pula. Dengan demikian
dapat dijelaskan mengapa spetrum unsur berupa spektrum garis.
3. Model
Atom Mekanika Kuantum
Kelemahan dari model atom Niels Bohr yaitu tidak
dapat menjelaskan mengapa elektron hanya boleh berada pada tingkat energi
tertentu. Pertanyaan ini dijelaskan oleh Louis de Broglie dengan dualisme
partikel gelombang.
Menurut de Broglie, selain bersifat partikel,
elektron dapat bersifat gelombang, sedangkan Niels Nohr berpendapat bahwa
elektron adalah partikel. Pendapat de Broglie yang dikembangkan oleh Erwin
Schrodinger dan W.Heisenberg melahirkan teori atom Modern. Teori atom ini
dikenal dengan nama teori atom mekanika kuantum. Prinsip dasar teori mekanika
kuantum adalah gerakan elektron dalam mengelilingi inti bersifat seperti gelombang.
Berdasarkan teori mekanika kuantuum, keberdaan
elektron dalam lintasan tidak dapat ditentukan dengan pasti, yang dapat
diketahui hanya daerah kebolehjadian ditemukannya elektron.Teori ini
dikemukakan oleh Werner Heisenberg, dan dinamakan prinsip ketidakpastian
Heisenberg.
2.6.2.
Bilangan Kuantum
a.
Bilangan Kuantum Utama (n)
Bilangan kuantum utama menetukan besarnya tingkat
energi suatu elektron yang mencirikan ukuran orbital. Lambang dari bilangan kuantum utama adalah
“n”. Bilangan kuantum utama menyatakan kulit tempat ditemukannya elektron yang dinyatakan dalam
bilangan bulat positif.
Jenis Kulit
|
Nilai (n)
|
K
|
1
|
L
|
2
|
M
|
3
|
N
|
4
|
Tabel
2.3. Hubungan jenis kulit dan nilai bilangan kuantum utama.
b.
Bilangan Kuantum Azimuth (l)
Bilangan kuantum azimut menyatakan sub kulit tempat
elektron berada dan bentuk orbital, serta menentukan besarnya momentum sudut
elektron terhadap inti.
Banyaknya subkulit tempat elektron berada tergantung
pada nilai bilangan kuantum utama (n). Nilai bilangan kuantum azimut dari 0
sampai dengan (n - 1). Bila n = 1, maka hanya ada satu subkulit yaitu l = 0.
Sedangkan n = 2, maka ada dua subkulit yaitu l = 0 dan l = 1.
Untuk setiap sub kulit diberi lambang berdasarkan
harga bilangan kuantum
· Subkulit
yang mempunyai harga l = 0 diberi lambang s (sharp)
· Subkulit
yang mempunyai harga l = 1 diberi lambang p (prinsipal)
· Subkulit
yang mempunyai harga l = 2 diberi lambang d (diffuse)
· Subkulit
yang mempunyai harga l = 3 diberi lambang f (fundamental)
Table berikut
menunjukan keterkaitan jumlah kulit dengan banyaknya subkulit serta jenis
subkulit dalam suatu atom
Kulit
|
Nilai n
|
Nilai I
|
Jenis Subkulit
|
K
|
1
|
0
|
1s
|
L
|
2
|
0
|
2s
|
1
|
2p
|
||
M
|
3
|
0
|
3s
|
1
|
3p
|
||
2
|
3d
|
||
N
|
4
|
0
|
4s
|
1
|
4p
|
||
2
|
4d
|
||
3
|
4f
|
Tabel
2.4. Hubungan bilangan kuantum utama dan azimut serta subkulit.
c.
Bilangan Kuantum Magnetik (m)
Bilangan kuantum magetik menyatakan orbital tempat
ditemukannya elektron pada subkulit tertentu dan arah momentum sudut elektron
terhadap inti. Sehingga nilai bilangan kuantum magnetik berhubungan dengan
bilangan kuantum azimuth.
Kuantum
Azimut
|
Tanda
Orbital |
Bilangan
Kuantum
Magnetik |
Gambaran
Orbital |
Jumlah
Orbital |
0
|
s
|
0
|
|
1
|
1
|
p
|
-1, 0, +1
|
|
3
|
2
|
d
|
-2, -1, 0, +1, +2
|
|
5
|
3
|
f
|
-3, -2, -1, 0, +1, +2, +3
|
|
7
|
Tabel
2.5. Hubungan bilangan kuantum azimut dengan bilangan kuantum magnetic
d.
Bilangan Kuantum Spin (S)
Lambang bilangan kuantum spin adalah s yang menyatakan
arah rotasi elektron pada porosnya. Ada dua kemungkinan arah rotasi yaitu
searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Begitulah elektron yang
berotasi, bila searah jarum jam maka memiliki nilai s=+½ dan dalam orbital
dituliskan dengan tanda panah ke atas. Sebaliknya untuk elektron yang berotasi
berlawanan arah jarum jam maka memiliki nilai s = -½ dan dalam orbital
dituliskan dengan tanda panah ke bawah.
Dari uraian arah rotasi
maka kiata dapat mengetahui bahwa dalam satu orbital atau kotak maksimum memiliki
2 elektron.
Kulit
|
N
|
L
|
M
|
Sub kulit
|
Gambaran Orbital
|
Jumlah Orbital
|
Jumlah Orbital Maksimum
|
|
Subkulit
|
Kulit
|
|||||||
K
|
1
|
0
|
0
|
1s
|
|
1
|
2
|
2
|
L
|
2
|
0
|
0
|
2s
|
|
1
|
2
|
8
|
1
|
-1, 0, +1
|
2p
|
|
3
|
6
|
|||
M
|
3
|
0
|
0
|
3s
|
|
1
|
2
|
18
|
1
|
-1, 0, +1
|
3p
|
|
3
|
6
|
|||
2
|
-2, -1, 0, +1, +2
|
3d
|
|
5
|
10
|
|||
N
|
4
|
0
|
0
|
4s
|
|
1
|
2
|
32
|
1
|
-1, 0, +1
|
4p
|
|
3
|
6
|
|||
2
|
-2, -1, 0, +1, +2
|
4d
|
|
5
|
10
|
|||
3
|
-3, -2, -1, 0, +1, +2, +3
|
4f
|
|
7
|
14
|
Tabel
2.6. Hubungan ke empat bilangan kuantum.
e. Bentuk
Orbital
Setiap orbital mempunyai ukuran, bentuk dan arah
orientasi ruang yang ditentukan oleh bilangan kuantum n, l,dan m. orbital –
orbital tersebut bergabung membentuk suatu subkulit dan subkulit bergabung
membentuk kulit atau tingkat energi.
Subkulit s tersusun
dari sebuah orbital dengan bilangan kuantum l = 0 dan mempunyai ukuran yang
berbeda tergantung harga bilangan kuantum n
(bagian dari kulit yang mana). Probabilitasuntuk menentukan electron
pada orbital s adalah sama untuk ke segala arah, maka bentuk ruang orbital s
digambarkan seperti bola.
Gambar 2.2 Bentuk Orbital s
Subkulit p tersusun
dari tiga orbital dengan bilangan kuantum l = 1. tiga orbital p tersebut adalah
px, py, pz, bentuk ruanga orbital p digambarkan seperti dumbbell dengan
probabilitas untuk menemukan electron semakin kecil mendekati inti
Gambar 2.3. Bentuk orbital – orbital PX, PY, PZ
Subkulit d
tersusun dari lima orbital yang mempunyai bilangan kuantum l = 2. Arah
orientasi dari orbital d dapat dibedakan menjadi kelompok, yaitu :
a. mempunyai
orientasi di antara sumbu, terdiri dari 3 orbital, yaitu : dxy, dxz, dan dyz
b mempunyai
orientasi pada sumbu, terdiri dari 2 orbital, yaitu : dx2-y2,
dz2
Gambar 2.4. Bebagai bentuk orbital d
2.6.3. Konfigurasi Elektron
Konfigurasi electron
menggambarkan penataan elektron – elektron dalam suatu atom, konfigurasi
electron adalah khas untuk suatu atom. Meskipun demikian, terdapat suatu aturan
yang bersifaat umum dalam memperkirakan penataan electron dalam suatu atom.
a. Aturan
Aufbau
Azas Aufbau (berasal
dari bahasa Jerman yang berarti membangun). Menurut prinsip Aufbau suatu atom
akan berada dalam kondisi yang stabil bila mempunyai energi yang rendah,
sedangkan elektron – elektron akan berada pada orbital – orbital yang bergabung
membentuk subkulit. Jadi,
elektron mempunyai kecenderungan akan menempati subkulit yang tingkat energinya
terendah.
Gambar 2.5. Diagram Curah Hujan
Berdasarkan gambar diatas, maka urutan tingkat energi
dari yang paling rendah ke yang paling tinggi. 1s<2s<2p<3s<3p<4s<3d<4p<46….dan
seterusnya.
b. Larangan
Pauli
Larangan Pauli atau
eksklusi Pauli menyatakan bahwa didalam suatu atom tidak boleh terdapat dua
elektron dengan empat bilangan kuantum yang sama. Orbital yang sama akan mempunyai bilangan kuantum
n,l,m. yang sama. Dengan demikian, yang dapat membedakannya hanya bilangan
kuantum spin (s). Jadi, setiap orbital
hanya dapat berisi 2 elektron dengan spin (arah putar) yang berlawanan.
Dengan adanya larangan Pauli ini, maka electron yang
dapat menempati suatu subkulit terbatas hanya dua kali dari jumlah orbitalnya. Jumlah
maksimum electron adalah sebagai berikut :
·
Subkulit
s terdiri dari 1 orbital dapat ditempati maksimum 2 elektron.
·
Subkulit
p terdiri dari 3 orbital dapat ditempati maksimum 6 elektron.
·
Subkulit
d terdiri dari 5 orbital dapat ditempati maksimum 10 elektron.
c. Aturan
Hund
Friendrich Hund (1927)
seorang ahli fisika dari Jerman mengemukakan aturan pengisian elektron pada
orbital, yakni : “orbital – orbital
dengan energi yang sama masing-masing
diisi lebih dulu oleh satu elektron arah (spin) yang sama atau setelah semua
orbital masing-masing terisi satu elektron kemudian elektron akan memasuki
orbital-orbital secara urut dengan arah spin yang berlawanan ”.
Contoh :
P2 dituliskan
|
Bukan
|
P4 dituliskan
|
Bukan
|
|
Bukan pula
|
P5 dituliskan
|
Bukan
|
P6 dituliskan
|
Bukan
|
|
Bukan pula
|
Tabel 2.7. Kaidah Aturan Hund
2.6.4.
Sistem Periodik Dan Konfigurasi Elektron
Sistem periodik unsure
disusun berdasarkan pengamatan sifat kimia dan sifat fisis unsur – unsur. Unsur
yang mempunyai kemiripan sifat kimia dan
sifat fisis diletakkan dalam satu golongan.
Ada keterkaitan antara konfigurasi elektron dengan
letak unsur dalam sistem periodik. Untuk mengetahui
hubungan tersebut dapat dijelaskan berikut ini.
a) Menentukan
Letak Golongan
Letak golongan suatu
unsur dalam sistem periodic unsur dapat diramalkan subkulit terakhir yang
terisi electron
· Jika
konfigurasi electron berakhir pada sn maka unsur tersebut pada golongan nA.
· Jika
konfigurasi electron berakhir pada pn maka unsur tersebut terdapat
pada golongan (n + 2)A.
· Jika
konfigurasi electron berakhir pada dn maka unsur tersebut terdapat pada
golongan (n + 2)B dengan catatan bahwa untuk (n +2) berjumlah 8,9, dan 10,
unsur tersebut berada dalam golongan VIIIB, sedangkan untuk (n +2) = 11 dan 12
unsur terletak pada golongan IB dan IIB
· Jika
konfigurasi electron berakhir pada fn maka unsure tersebut terdapat
pada lantanida dan aktinida.
b) Menentukan
Letak Periode
Letak periode suatu
unsur dapat diramalkan dari jumlah kulit electron dari unsur tersebut. Jumlah
kulit ditandai dengan angka di depan subkulit yang terbesar. Jadi , bila konfigurasi terakhir ns, np, (n-1)d
ns,(n-2)f, (n -1)d10 ns2 berarti unsur tersebut pada
periode n.
2.7. Kerangka Konseptual
Dalam kegiatan belajar
mengajar guru harus dapat memilih model mengajar yang tepat untuk siswa
sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa dapat semaksimal mungkin. Banyak
model mengajar yang digunakan oleh guru tetapi model mengajar yang dimaksudkan
dalam hal ini adalah model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK).
M3PK merupakan salah
satu model pembelajaran menginduksi perubahan konsep dimana di dalam model ini
perubahan konsep ditekankan pada tiga aspek utama, yaitu intelligibility yang
artinya konsep itu memiliki arti/makna dalam diri siswa. Aspek yang kedua
adalah plausibility yang artinya siswa yakin bahwa konsep yang diterimanya
benar. Sedangkan aspek yang ketiga yaitu fruitfulness yang artinya konsep itu
memberikan “buah” bagi dirinya. Dengan kata lain konsep tersebut bisa
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Model mengajar
menginduksi perubahan konsep (M3PK) dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa
dan memotivasi siswa sehingga memberi pemahaman konsep yang baik terhadap
materi yang dipelajarinya. Jadi dengan menerapkan model mengajar menginduksi
perubahan konsep (M3PK) dalam pembelajaran kimia pokok bahasan struktur atom
maka siswa akan terlatih memahami konsep-konsep penting dan akan meningkatkan
penguasaan siswa terhadap materi tersebut.
2.8. Penelitian Sejenis
Penelitian dengan
menggunakan model mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) telah banyak
dilakukan oleh peneliti, yaitu:
1.
Mandra Andreas Purba
Penelitian
yang dilakukan dengan judul pengaruh model mengajar menginduksi perubahan
konsep (M3PK) Simson Tarigan terhadap hasil belajar siswa pada kelas X semester
I SMA Yayasan Perguruan Budi Medan. Penelitian ini menggunakan 1 kelas control
dan 1 kelas eksperiment. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai rata rata hasil
belajar pada kelas eksperimen dengan
menerap
kan
Model
Mengajar menginduksi Perubahan Konsep lebih tinggi (
= 7,00 ± 0,833 ) daripada kelas control yang tidak menerapkan
Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (
= 6, 16 ± 1,054 ). Uji hipotesis diperoleh harga t
hitung = 3,471 dan t table = 2,002 (t hitung
> t table ) dengan taraf
signifikan ά = 0,05.
2.
Tetty M Lumban Gaol
Penelitian
yang dilakukan dengan judul pengaruh model mengajar menginduksi perubahan
konsep (M3PK) Simson Tarigan terhadap hasil belajar kimia siswa pada pokok
bahasan laju reaksi di kelas XI SMA Negeri 12 Medan. Dari analisa data
diperoleh nilai rata-rata skor tes awal (pre-tes) siswa kelas eksperimen
diperoleh sebesar 3,47 dengan standar deviasi 0,91 dan rata-rata skor post-tes
diperoleh sebesar 7,78 dengan standar deviasi 0,92. Sedangkan pada kelas
kontrol rata-rata skor tes awal (pre-tes) siswa sebesar 3,41 dengan standar
deviasi 0,79 dan rata-rata skor pos tes diperoleh sebesar 7,30 dengan standar
deviasi 0,89. Berdasarkan hasil tersebut maka dilakukan pengujian hipotesis,
dengan hasil analisis uji-t diperoleh thitung = 2,62 dan ttabel
=1,94 pada taraf signifikansi α=0,05 dengan dk=78, berarti thitung >
ttabel, artinya bahwa ada pengaruh yang signifikan dari model
mengajar menginduksi perubahan konsep (M3PK) Simson Tarigan terhadap hasil
belajar kimia siswa.
3.
Bonarita Br. Tarigan
Keberhasilan model mengajar
menginduksi perubahan konsep (M3PK) dalam pembelajaran telah banyak diteliti
diantaranya oleh Bonarita Br. Tarigan, dimana peneliti mengadakan penelitian di
SMA Negeri 1 Kabanjahe. Hasil data pos-test menunjukan bahwa untuk kelas
eksperimen diperoleh rata-rata nilai hasil belajar 7,53 dengan simpangan baku SD = 1,18 sedangkan
untuk kelas control diperoleh rata-rat nilai hasil belajar 6,95 dengan
simpangan baku SD = 1,07.
2.9.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis
merupakan suatu dugaan sementara yang kebenarannya masih memerlukan jawaban.
Adapun hipotesis dalam penelitian
ini adalah:
Ha : Hasil belajar kimia siswa dengan menggunakan
Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan lebih tinggi
dari hasil belajar kimia siswa tanpa menggunakan Model Mengajar Menginduksi
Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan
Ho : Hasil belajar kimia siswa dengan menggunakan
Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan lebih rendah
dari hasil belajar kimia siswa tanpa menggunakan Model Mengajar Menginduksi
Perubahan Konsep (M3PK) Simson Tarigan
Hipotesis Statistik
:
Ha : μ2
> μ1
Ho : μ2 ≤ μ1
μ2 : Hasil
belajar kimia siswa dengan menggunakan Model Mengajar Mengajar Menginduksi
Perubahan Konsep (M3PK)
μ1 : Hasil belajar kimia siswa tanpa
menggunakan Model Mengajar Menginduksi Perubahan Konsep (konvensional)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi
dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA Swasta Teladan
P.Siantar pada bulan Juli- Agustus 2011.
3.2. Populasi
dan Sampel Penelitian
3.2.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI SMA Swasta
Teladan P.Siantar Tahun Ajaran 2011/2012. Jumlah kelas XI sebanyak 3 kelas.
3.2.2 Sampel Penelitian
Sampel diambil secara purporsive, sebanyak 2 (dua) kelas. Dimana satu kelas dijadikan
kelas kontrol dan satu kelas lainya dijadikan kelas eksperimen dengan jumlah sampel 78 orang.
3.3. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu variabel bebas (x) dan
variabel terikat (y).
3.3.1. Variabel Bebas
Variabel bebas (x)
dalam penelitian ini adalah model mengajar menginduksi perubahan konsep dan
3.3.2. Variabel
Terikat
Variabel terikat
(y) dalam penelitian ini adalah hasil belajar kimia siswa pada sub pokok
bahasan Sistem Periodik Unsur.
3.4. Rancangan
Penelitian
Model mengajar
menginduksi perubahan konsep (M3PK) diterapkan pada kelas eksperimen. Pada
kelas kontrol dalam proses belajar mengajar tanpa menerapkan model mengajar
M3PK. Lebih jelasnya dapat diperlihatkan pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.2 Desain Penelitian
Kelompok
|
Test
Awal
|
Perlakuan
|
Test
Akhir
|
Eksperimen
|
T1
|
X1
|
T2
|
Kontrol
|
T1
|
X2
|
T2
|
Keterangan:
T1 : Pemberian test awal (pre-test)
T2 : Pemberian test akhir (post-test)
X1 : Perlakuan yang diberikan pada
kelas eksperimen dengan menerapkan model mengajar menginduksi perubahan konsep.
X2 : Perlakuan yang diberikan pada kelas
kontrol tanpa menerapkan model mengajar
menginduksi perubahan konsep.
Pada penelitian ini kelas sampel yang terdiri atas dua
kelas dibagi kedalam dua golongan yaitu sebagai kelas control dan yang lainya
sebagai kelas eksperiment. Pada
kelas kontrol dan eksperimen dilakukan pre-test yang sama dengan soal yang sama
terlebih dahulu. Setelah melakukan pre-test kemudian diberi perlakuan yaitu
pada kelas kontrol dilakukan pembelajaran yang bersifat konvensional dan pada
kelas eksperiment diberi pembelajaran dengan menggunakan M3PK Simson Tarigan.
Untuk lebih jelasnya
mengenai rancangan penelitian yang akan dilaksanakan, perhatikan gambar berikut
ini:
![]() |
|||
![]() |
Gambar 3.1 Skema Prosedur
Penelitian
3.5. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes objektif yaitu dalam bentuk
pilihan berganda, dengan jumlah soal sebanyak 20 soal. Jumlah
option setiap soal disediakan lima
butir. Sebelum instrumen digunakan ke kelas eksperimen, terlebih dahulu
diujicobakan kepada siswa kelas XII sebanyak 40 soal untuk mengetahui
validitas, reabilitasnya, taraf kesukaran tes dan daya beda.
1.
Validitas Test 

Untuk menguji
validitas test digunakan rumus product moment (momen hasil) angka
kasar(Silitonga, 2011) yaitu :
Rxy = 

Keterangan rxy = koefisien korelasi product moment
N = jumlah seluruh siswa
X = skor butir soal
Y = skor total
Untuk
menafsirkan harga validitas untuk setiap soal, maka harga tersebut
dikonsultasikan ke tabel harga kritik r product moment dengan α = 0,05 dengan kriteria, jika rhitung > rtabel
maka soal disebut valid.
Kriteria:
Antara 0,80 – 1,00 validitas sangat tinggi
0,60
- 0,80
validitas tinggi
0,40
– 0,60 validitas cukup
0,20
– 0,40 valididtas rendah
0,00
-0,20 validitas sangat rendah
2.
Reabilitas Test
Untuk menguju reabilitas test digunakan rumus Kuder dan Richardson (KR -
20), (Silitonga, 2011)
r11 = 

S2
= 

Q = 1-p
Dimana :
r11 = Koefisien reliabilitas tes
K = Jumlah butir tes
p = Proporsi subjek yang menjawab benar
q =
Proporsi subjek yang menjawab salah
S2 = Varians skor
Dengan kriteria pengujian :
Jika r hitung > r
tabel untuk
= 0,05 maka test tersebut dinyatakan
reliable

3. Tingkat Kesukaran Soal
Untuk menghitung
tingkat kesukaran soal digunakan rumus yang dinyatakan oleh (Silitonga, 2011).

Dimana :
P = Indeks kesukaran item
B = Banyak siswa yang menjawab soal itu
dengan benar
T = Jumlah peserta
tes
Dengan
ketentuan :
P berkisar
antara 0,20 – 0,80
Jika P <
0,20 (tes terlalu sulit)
Jika p >
0,80 (tes terlalu mudah)
4. Daya
Pembeda Soal
Untuk menghitung daya pembeda soal digunakan rumus yang dinyatakan oleh
(Silitonga, 2011) yaitu :
DP =
- 


Keterangan
: JA = jumlah peserta kelompok atas
JB = jumlah peserta
kelompok bawah
BA = jumlah kelompok
atas yang menjawab benar
BB = jumlah kelompok
atas yang menjawab salah
Adapun kriteria daya pembeda “D” berkisar antara +0,20 s/d +1,0
3.6. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini,
langkah-langkah yang dilakukan untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut :
1.
Pelaksanaan pretes
Pemberian
pretes dilakukan sebelum dilakukan pengajaran kepada kelompok sampel untuk
mengetahui kemampuan awal siswa (rendah, sedang, tinggi). Setelah pretes
selesai dilakukan, maka siswa yang nilainya rendah dibuat dalam kelompok siswa
yang berkemampuan awal rendah. Siswa yang nilainya sedang ke dalam kelompok
kemampuan awal siswa yang sedang dan demikian juga yang nilainya tinggi dibuat
dalam kelompok siswa yang berkemampuan awal tinggi. Soal pretes sebanyak 20 dan
soalnya sama untuk setiap kelas. Pretes dilaksanakan dalam 30 menit.
2.
Melakukan penelitian dalam kelas
Guru mengajarkan materi
hidrolisis garam dengan menggunakan model mengajar menginduksi perubahan konsep
(M3PK) pada kelas eksperiment dan model konvensional pada kelas control. Awal
pembelajaran pada kelas eksperiment dimulai dengan memberikan materi berupa
hand out dan memberikan kepada siswa belajar mandiri dengan membaca, mencatat,
dan memahami konsep-konsep yang terkandung didalamnya. Hal ini bertujuan untuk
melihat sejauh mana konsep siswa. Konsep siswa yang belum benar maupun yang
benar namun belum terstruktur diinduksikan ke konsep yang baru dan benar.
3. Pelaksanaan postes
Postes diberikan
setelah proses belajar mengajar selesai untuk mengetahui hasil belajar siswa.
Instrumen yang diberikan kepada kedua kelas adalah sama.
Dimana soal postes sama dengan pretes.
3.7. Teknik Analisis Data
Untuk penelitian ini teknik analisis data
dilakukan dengan melakukan uji normalitas data, uji hipotesis, dan homogenitas data.
1.
Uji
Normalitas
Uji normalitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah
data berdistribusi normal atau tidak, untuk menguji normalitas ini digunakan
prosedur:
- Membuat
tabel distribusi frekuensi dari data yang diperoleh
-
Menghitung rata- rata (
)

- Pengamatan X1,
X2, X3,….Xn dijadikan bilangan baku Z1,
Z2, Z3,....Zn dengan menggunkan rumus:
Zi =
, (
da S masing-
masing merupakan rata- rata dan simpangan baku sampel)


-
Untuk setiap bilangan baku dan menggunakan daftar distribusi normal baku,
kemudian dihitung peluang F(Zi) = peluang (z ≤ zi).
-
Selanjutnya dihitung proporsi Z1, Z2, Z3,....Z=n
yang lebih kecil atau sama dengan Z=i. Jika proporsi ini dinyatakan oleh s(zi)
maka:
S(zi)
= 

-
Menghitung selisih F(zi)- S(zi) kemudian ditentukan harga
mutlaknya.
Kriteria pengujian dengan α = 0,05 adalah jika
L=hitung< Ltabel maka data berdistribusi normal.
2.
Uji Homogenitas
Pengujian
homogenitas varians data dua kelompok sampel atau lebih dilakukan dengan uji F
dengan rumus:
Fhitung = 

Jika Fhit
< Ftabel (α) (db=(n1-1)(n2-1) maka Ho
diterima (data homogen). (Silitonga,2011)
3.
Uji Hipotesis
Uji hipotesis
yang digunkan adalah uji pihak kanan. Uji pihak kanan digunakan bila Hipotesis
alternatif berbunyi”lebih besar”, diatas (>), dan menggunakan uji hipotesis
dua arah. Dengan menngunakan rumus dibawah ini dapat dihitung:

Keterangan:


s = simpangan baku


thit
= harga t yang dihitung

Keterangan:




Yang dapat dilihat
dari kriteria pengujian dibawah ini sebagai berikut :
- Terima Ho jika thitung
< tα dan tolak Ha
- Tolak Ho jika thitung > tα dan terima Ha
4.
Peningkatan Hasil Belajar
Untuk mengetahui peningkatan
hasil belajar untuk tiap-tiap kelas eksperimen dilakukan uji berikut:

Dengan
kriteria g (gain ternormalisasi) :
g < 0,3 =
rendah
0,3≤ g ≤0,7 = sedang
g > 0,7 = tinggi
Persen peningkatan hasil belajar siswa
yang diajar dengan M3PK dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Dimana:


bos, bisa share daftar pustaka nya ?
BalasHapussori telat balas bos.... sudah ada saya share kan di gadget Contoh Proposal
Hapus